Siang ini terasa begitu panas. Aku dan adikku terpanggang di bawahnya. Apalagi sekolah kami yang jaraknya sangat tanggung, sekitar dua puluh meter dari perumahan, menyuruh kami berjalan kaki pulang-pergi dari rumah. Mama tidak mengizinkanku mengendarai motor. Untuk apa membuang-buang uang untuk bahan bakar motor sedangkan masih bisa dijangkau dengan kaki, lagipula berjalan kaki dapat menjadi pengobatan alami bagi para penderita penyakit jantung, pikirnya. Karenanya setiap kali menggapai rumah, baju kami selalu basah kuyup oleh keringat. Mengingatnya hanya menambah perasaan badmood-ku hari ini.
Setelah memasuki perumahan, kami masih harus berjalan delapan meter lagi untuk sampai ke rumah. Ketika melewati tempat pembuangan sampah perumahan, kami mendengar suara seekor kucing yang tidak seperti biasanya. Suaranya agak lemah dan sesekali terdengar. Aku tidak terlalu menaruh perhatian terhadapnya dan meneruskan perjalananku menuju rumah. Sampai akhirnya sadar kalau adikku ternyata masih tertinggal di dekat tong sampah besar berwarna kuning itu.
“Fi, kamu ngapain?” teriakku dari jauh.
Fian meletakkan telunjuk di depan mulutnya, menyuruhku diam. Kemudian mengajakku mendekat dengan gerakan tangannya.
“Malas. Aku duluan, ya,” teriakku sambil berbalik arah, meneruskan perjalanan.
“Kaaak Viky! Sini! Cepeeeet,” teriak Fani memanggilku kembali. Padahal barusan ia menyuruhku diam.
Terpaksa aku berbalik arah dan memenuhi keinginannya melihat kucing yang sepertinya sedang melahirkan tersebut.
Aku akhirnya memilih duduk di bawah pohon, agak jauh dari tong sampah tersebut. Tapi kucing berbulu kuning-putih yang sedang melahirkan tersebut masih dapat kuamati dengan jelas. Fian jongkok di dekat kucing yang sedang melahirkan tersebut. Ia sangat tertarik dengan kejadian-kejadian seperti ini.
Dari bawah pohon aku melihat sebuah kepala mulai muncul dari bawah ekor si kucing. Kucing itu terus merintih dan berusaha bernapas semampunya. Ia mendorong bayinya hingga badan kecil berbulu putih-kuning serupa dengan induknya itu keluar sepenuhnya. Darah berceceran tidak karuan di sekitarnya. Tak lama setelah badan anak pertama sepenuhnya terlihat dari luar, muncul lagi sebuah kepala sama seperti sebelumnya. Begitu seterusnya sampai akhirnya kepala ketiga mulai keluar. Si induk tiba-tiba berhenti mengeluarkan tenaga penuhnya. Ia bernapas seperti biasa sebelum anak terakhirnya keluar sepenuhnya. Hingga akhirnya tidak bergerak sama sekali.
“Mati itu, Fi. Mati,” beritahuku kepada Fifian yang daritadi sama sekal tidak menolehkan kepalanya kemana-mana.
Sesekali suara tarikan ingus keluar dari hidung anak perempuan yang baru masuk SMA tersebut. Tak lama kemudian ia membalikkan kepalanya dengan wajah yang berlumuran air mata.
“Gimana ini, kak?” tanyanya sambil terisak.
“Eeeeh, malah nangis,” aku kaget melihat wajah basah Fian. Sebenarnya ia memang gampang sekali tersentuh oleh sesuatu yang mengharukan.
“Anaknya yang terakhir belum keular,” adunya lagi dengan isakan tangis yang membuat orang iba melihatnya.
“Yasudah, ayo pulang,” aku segera menyelempangkan tasku ke bahu kananku seperti biasa.
“Kubur dulu, kak,” ucapnya sambil mencari sesuatu di tasnya untuk dapat mengubur kucing tersebut.
“Eeeeh, ni anak nyusahin aja,” kataku.
“Yasudah, pulang sana,” jawabnya sebal.
“Eeeeh,” ucapku sebal. Kemudian berusaha mencari sesutau di tasku yang dapat membatu Fian menyelesaikan masalahnya. Dan akhirnya aku menemukan sebuah kain putih bekas praktek biologi tadi pagi.
“Nih,” aku memberikan kain tersebut kepada Fian. “Tutupin aja di atasnya, nanti biar orang lain yang ngubur,” lanjutku.
“Nggak, nanti kalau ni kucing malah dibuang gitu aja, gimana?” jawab Fian.
“Ah, terserah. Aku mau balik,” aku berbalik menuju rumah kembali.
Sesekali aku melihat jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek sedang menuju ke angka enam. Astaga, lama sekali kami menonton acara kucing melahirkan tadi. Anak-anak gank motor sudah mulai berlalu-lalang melewati kami. Sedangkan Fian masih sibuk dengan bangkai-bangkai kucing tersebut. Mau tidak mau aku harus memperhatikan Fian agar anak-anak nakal tersebut tidak menjahilinya.
Adzan maghrib telah berkumandang. Bersamaan dengan Fian yang akhirnya menyelesaikan kegiatannya mengubur kucing-kucing yang baru dilihatnya beberapa jam lalu. Ia berdiri, tapi tidak dengan tangan kosong. Kain putih yang kuberikan tadi dibawanya sambil menggendong salah satu dari anak sang induk tadi. Kali ini kami benar-benar melanjutkan perjalanan kami sampai rumah.
“Aduh, ngapain kamu bawa itu ke rumah?” keluhku lagi.
“Habis, cuma dia yang masih hidup,” jawabnya kasihan.
“Sisanya mati semua?” tanyaku sambil menjaga jarak dengan Fian.
Fian hanya mengangguk.
Kuperhatikan kucing tersebut sedikit-sedikit. Badannya berlumuran darah. Au masih dapat melihat tali pusar di perutnya. Sesekali mengeong. Kukira mati, karena perutnya tidak terlihat kembang-kempis. Tidak sedikitpun menggugah hatiku. Sebenarnya… aku memiliki alergi terhadap hewan berbulu. Aku bisa bersin lebih dari tiga kali ketika berada di sekitar mereka. Oleh karena itu mulai dari kecil aku berusaha menjauhkan diri dari hewan-hewan berbulu.
Sesampainya di rumah, kami dimarahi oleh Mama. Seharusnya kami sampai di rumah paling lama jam lima sore, tapi ini sudah memasuki waktu Maghrib. Aku dan Fian segera membersihkan diri dan bersiap untuk sholat berjamaah bersama Mama dan Papa juga. Fian menaruh bayi kucing tersebut di kotak kardus kemudian ia beri selimut kusam yang tidak terpakai lagi. Rencananya besok ia akan mulai membersihkan darah, kotoran, dan tali pusarnya.
“Dasar jorok. Orang pemalas itu harusnya nggak usah bawa-bawa kucing ke rumah,” sindirku.
“Masa aku mau bersihin darah kucing malem-malem?” tanyanya sewot.
Setelah sholat maghrib berjamaah kami makan malam bersama di ruang tengah sambil menonton acara berita malam di televisi. Aku melihat gerak-gerik Fian yang sepertinya ingin meminta izin Mama untuk memelihara kucing tadi. Mama biasanya tidak menyukai hewan seperti kucing. Setiap ada kucing liar yang masuk rumah lewat pintu belakang beliau selalu menakut-nakutinya dengan sapu agar segera keluar.
“Ma, Fian boleh melihara kucing?” Fian mulai membuka mulut dengan nada pasrah. Dibolehin, ya dirawat. Nggak dibolehin, ya dibuang lagi. Aku hanya tertawa kecil karena sudah mengetahui jawaban yang akan keluar dari mulut Mama. Tentunya tidak.
“Iya,” jawab Mama mengagetkanku. Mama benar-benar moody.
“Horeeee,” Fian bahagia. Ia segera menyelesaikan makanannya dan membuat susu putih manis di mangkuk untuk si kucing.
“Ma, kucingnya bau. Suka eek sama pipis sembarangan,” aduku ke Mama.
Mama malah memukulku dengan sikutnya.
“Ini lagi makan, malah ngomong eek dama pipis,” kata Mama.
“Mama juga, tuh,” jawabku pasrah.
“Tapi Mama nggak mau lihat eek sama pipisnya berserakan di teras, ya, Fi,” suara Mama berusaha menggapai kuping Fian di dapur.
“Mama ini. Orang lagi makan, malah ngomong eek sama pipis keras-keras,” sewot Papa.
“Kerasan Papa, ngomongnya!” Mama sewot balik. Aku menahan tawa sambil menonton televisi dengan makananku.
Tak lama kemudian Fian selesai dengan semangkuk kecil susu putih untuk diberikan ke kucing tersebut dan menuju teras samping tempat dimana ia meletakkan kardus untuk tempat tinggal baru si kucing.
“Kalau gitu, mana bisa dia minum,” teriakku.
“Bisaaaa,” teriaknya sambil beranjak keluar rumah.
Setelah selesai makan aku segera masuk kamar dan bersiap sholat isya’ seorang diri. Setelah itu mengambil jam tidurku lebih awal karena terlalu lelah mengerjakan tugas mading untuk lomba antar propinsi yang akan dikumpul beberapa hari lagi.
Keesokan harinya aku dan Fian berangkat sekolah seperti biasa.
Aku sedang mengikat tali sepatuku, semestara Fian yang sudah komplit sejak jam 6 tadi sedang sibuk mengurusi kucingnya yang baru saja ia pungut kemarin sore.
“Tuh, kan. Apa kubilang. Mana bisa baru lahir langsung jilat-jilat wadah,” aku memulai sindiranku. Fian tidak meresponku. Ia terus menyelesaikan pekerjaanya melap si bayi kucing dengan handuk basah dan air hangat.
“Aku duluan, ya,” laporku sambil beranjak pergi.
“Ya, sudah. Sana! Pergi sendirian, pulang sendirian, sana!” tiba-tiba ia berteriak jengkel. Anak ini benar-benar tukang sewot. Sepertinya hormon “gampang bete” Mama menyangkut beberapa ke Fian.
“Iya… iya…” aku mengalah. Kemudian berdiri seperti monyet sakit perut di depan pagar rumah sambil menunggu si ratu sewot itu.
Akhirnya Fian membuka pagar dan siap untuk berangkat ke sekolah. Lalu seperti biasa kami berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki.
Di sekolahpun seperti biasa. Jam pelajaran kuhabiskan tanpa teman sebangku. Jam istirahat kuhabiskan membaca novel sambil mendengarkan ipod yang berisi instrumen-instrumen penenang di mejaku, pojok kiri belakang, dekat dengan jendela. Aku tidak memiliki satu orangpun teman karena masalah keterbatasanku beraktivitas. Semua laki-laki di kelasku selalu mencuri-curi kesempatan untuk menyelaku. Menyindir penyakitku yang tidak mengizinkanku berolahraga berat. Tidak dapat mengikuti kegiatan mereka sehari-hari bermain futsal dari pulang sekolah hingga diusir satpam sekolah karena sekolah akan ditutup. Membayangkanku bergabung bersama mereka saja sudah membuatku berkeringat. Bisa-bisa nyawaku loncat di tengah-tengah permainan. Aku lebih memilih berjalan dengan santai dari rumah ke sekolah berkali-kali. Satu-satunya perkumpulan yang bersahabat denganku hanyalah klub mading yang berisi adik-adik kelas kaya yang kulitnya mulus-mulus alias tidak pernah berolahraga, sama sepertiku. Bedanya, hidup mereka lebih makmur karena mereka dapat dengan leluasa mengkonsumsi kalori sebanyak yang mereka inginkan. Sedangkan aku harus memakan makanan-makanan tertentu saja. Selalu menjaga mulutku dari makanan yang dapat memperburuk keadaanku.
Sesekali terdengar bunyi ‘klik’ dari seberang jendela di sampingku. Ketika kutoleh, tidak ada siapa-siapa. Ini bukan pertama kalinya kurasakan. Sejak pertengahan kelas sebelas hingga memasuki tahun ajaran baru ini hal tersebut sering kali terjadi. Selain itu, akhir-akhir ini ada beberapa batang coklat berisi surat penuh cinta jatuh di mejaku, dari luar jendela. Kadang ada no name, kadang beberapa nama tercantum berurutan seperti kertas tugas kelompok. Kadang pula dicantumkan sebuah nama, tapi beberapa hurufnya disamarkan dengan diberi bintang. Sungguh, aku bangga dengan sekolah ini yang terus melahirkan anak-anak kreatif di dalamnya. Toh ada nama atau tidak, ujung-ujungnya juga akan kumakan. Sekeping coklat dapat mencegah resiko penyakit jantung. Walaupun sudah terserang duluan, mungkin saja itu akan membawa dampak baik.
Setelah bel sekolah tanda pulang sekolah berbunyi, aku segera mengemasi barang-barangku dan menuju gerbang samping untuk menunggu Fian. Kemudian pulang bersama. Sebenarnya aku malas, tapi ini perintah Bos Besar, Mama. Fian selalu bermain dulu bersama teman-temannya sebelum beranjak ke gerbang untuk pulang. Tak ada yang lebih menyebalkan daripada itu. Seseorang menunggu tepat pada jam dimana matahari sedang dalam keadaan panas yang menyengat. Sementara seseorang yang ditunggu sedang bersenang-senang dan tertawa bersama teman-temannya di dalam kelasnya. Begitu aku akan mengungkapkan kekesalanku kepadanya selama perjalanan, ia selalu menjawab dengan sangat cerdas. Kata-kata yang kudengar balik justru selalu membuatku menjadi seseorang yang berdosa.
Setelah memasuki perumahan, kami masih harus berjalan delapan meter lagi untuk sampai ke rumah. Ketika melewati tempat pembuangan sampah perumahan, kami mendengar suara seekor kucing yang tidak seperti biasanya. Suaranya agak lemah dan sesekali terdengar. Aku tidak terlalu menaruh perhatian terhadapnya dan meneruskan perjalananku menuju rumah. Sampai akhirnya sadar kalau adikku ternyata masih tertinggal di dekat tong sampah besar berwarna kuning itu.
“Fi, kamu ngapain?” teriakku dari jauh.
Fian meletakkan telunjuk di depan mulutnya, menyuruhku diam. Kemudian mengajakku mendekat dengan gerakan tangannya.
“Malas. Aku duluan, ya,” teriakku sambil berbalik arah, meneruskan perjalanan.
“Kaaak Viky! Sini! Cepeeeet,” teriak Fani memanggilku kembali. Padahal barusan ia menyuruhku diam.
Terpaksa aku berbalik arah dan memenuhi keinginannya melihat kucing yang sepertinya sedang melahirkan tersebut.
Aku akhirnya memilih duduk di bawah pohon, agak jauh dari tong sampah tersebut. Tapi kucing berbulu kuning-putih yang sedang melahirkan tersebut masih dapat kuamati dengan jelas. Fian jongkok di dekat kucing yang sedang melahirkan tersebut. Ia sangat tertarik dengan kejadian-kejadian seperti ini.
Dari bawah pohon aku melihat sebuah kepala mulai muncul dari bawah ekor si kucing. Kucing itu terus merintih dan berusaha bernapas semampunya. Ia mendorong bayinya hingga badan kecil berbulu putih-kuning serupa dengan induknya itu keluar sepenuhnya. Darah berceceran tidak karuan di sekitarnya. Tak lama setelah badan anak pertama sepenuhnya terlihat dari luar, muncul lagi sebuah kepala sama seperti sebelumnya. Begitu seterusnya sampai akhirnya kepala ketiga mulai keluar. Si induk tiba-tiba berhenti mengeluarkan tenaga penuhnya. Ia bernapas seperti biasa sebelum anak terakhirnya keluar sepenuhnya. Hingga akhirnya tidak bergerak sama sekali.
“Mati itu, Fi. Mati,” beritahuku kepada Fifian yang daritadi sama sekal tidak menolehkan kepalanya kemana-mana.
Sesekali suara tarikan ingus keluar dari hidung anak perempuan yang baru masuk SMA tersebut. Tak lama kemudian ia membalikkan kepalanya dengan wajah yang berlumuran air mata.
“Gimana ini, kak?” tanyanya sambil terisak.
“Eeeeh, malah nangis,” aku kaget melihat wajah basah Fian. Sebenarnya ia memang gampang sekali tersentuh oleh sesuatu yang mengharukan.
“Anaknya yang terakhir belum keular,” adunya lagi dengan isakan tangis yang membuat orang iba melihatnya.
“Yasudah, ayo pulang,” aku segera menyelempangkan tasku ke bahu kananku seperti biasa.
“Kubur dulu, kak,” ucapnya sambil mencari sesuatu di tasnya untuk dapat mengubur kucing tersebut.
“Eeeeh, ni anak nyusahin aja,” kataku.
“Yasudah, pulang sana,” jawabnya sebal.
“Eeeeh,” ucapku sebal. Kemudian berusaha mencari sesutau di tasku yang dapat membatu Fian menyelesaikan masalahnya. Dan akhirnya aku menemukan sebuah kain putih bekas praktek biologi tadi pagi.
“Nih,” aku memberikan kain tersebut kepada Fian. “Tutupin aja di atasnya, nanti biar orang lain yang ngubur,” lanjutku.
“Nggak, nanti kalau ni kucing malah dibuang gitu aja, gimana?” jawab Fian.
“Ah, terserah. Aku mau balik,” aku berbalik menuju rumah kembali.
Sesekali aku melihat jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek sedang menuju ke angka enam. Astaga, lama sekali kami menonton acara kucing melahirkan tadi. Anak-anak gank motor sudah mulai berlalu-lalang melewati kami. Sedangkan Fian masih sibuk dengan bangkai-bangkai kucing tersebut. Mau tidak mau aku harus memperhatikan Fian agar anak-anak nakal tersebut tidak menjahilinya.
Adzan maghrib telah berkumandang. Bersamaan dengan Fian yang akhirnya menyelesaikan kegiatannya mengubur kucing-kucing yang baru dilihatnya beberapa jam lalu. Ia berdiri, tapi tidak dengan tangan kosong. Kain putih yang kuberikan tadi dibawanya sambil menggendong salah satu dari anak sang induk tadi. Kali ini kami benar-benar melanjutkan perjalanan kami sampai rumah.
“Aduh, ngapain kamu bawa itu ke rumah?” keluhku lagi.
“Habis, cuma dia yang masih hidup,” jawabnya kasihan.
“Sisanya mati semua?” tanyaku sambil menjaga jarak dengan Fian.
Fian hanya mengangguk.
Kuperhatikan kucing tersebut sedikit-sedikit. Badannya berlumuran darah. Au masih dapat melihat tali pusar di perutnya. Sesekali mengeong. Kukira mati, karena perutnya tidak terlihat kembang-kempis. Tidak sedikitpun menggugah hatiku. Sebenarnya… aku memiliki alergi terhadap hewan berbulu. Aku bisa bersin lebih dari tiga kali ketika berada di sekitar mereka. Oleh karena itu mulai dari kecil aku berusaha menjauhkan diri dari hewan-hewan berbulu.
Sesampainya di rumah, kami dimarahi oleh Mama. Seharusnya kami sampai di rumah paling lama jam lima sore, tapi ini sudah memasuki waktu Maghrib. Aku dan Fian segera membersihkan diri dan bersiap untuk sholat berjamaah bersama Mama dan Papa juga. Fian menaruh bayi kucing tersebut di kotak kardus kemudian ia beri selimut kusam yang tidak terpakai lagi. Rencananya besok ia akan mulai membersihkan darah, kotoran, dan tali pusarnya.
“Dasar jorok. Orang pemalas itu harusnya nggak usah bawa-bawa kucing ke rumah,” sindirku.
“Masa aku mau bersihin darah kucing malem-malem?” tanyanya sewot.
Setelah sholat maghrib berjamaah kami makan malam bersama di ruang tengah sambil menonton acara berita malam di televisi. Aku melihat gerak-gerik Fian yang sepertinya ingin meminta izin Mama untuk memelihara kucing tadi. Mama biasanya tidak menyukai hewan seperti kucing. Setiap ada kucing liar yang masuk rumah lewat pintu belakang beliau selalu menakut-nakutinya dengan sapu agar segera keluar.
“Ma, Fian boleh melihara kucing?” Fian mulai membuka mulut dengan nada pasrah. Dibolehin, ya dirawat. Nggak dibolehin, ya dibuang lagi. Aku hanya tertawa kecil karena sudah mengetahui jawaban yang akan keluar dari mulut Mama. Tentunya tidak.
“Iya,” jawab Mama mengagetkanku. Mama benar-benar moody.
“Horeeee,” Fian bahagia. Ia segera menyelesaikan makanannya dan membuat susu putih manis di mangkuk untuk si kucing.
“Ma, kucingnya bau. Suka eek sama pipis sembarangan,” aduku ke Mama.
Mama malah memukulku dengan sikutnya.
“Ini lagi makan, malah ngomong eek dama pipis,” kata Mama.
“Mama juga, tuh,” jawabku pasrah.
“Tapi Mama nggak mau lihat eek sama pipisnya berserakan di teras, ya, Fi,” suara Mama berusaha menggapai kuping Fian di dapur.
“Mama ini. Orang lagi makan, malah ngomong eek sama pipis keras-keras,” sewot Papa.
“Kerasan Papa, ngomongnya!” Mama sewot balik. Aku menahan tawa sambil menonton televisi dengan makananku.
Tak lama kemudian Fian selesai dengan semangkuk kecil susu putih untuk diberikan ke kucing tersebut dan menuju teras samping tempat dimana ia meletakkan kardus untuk tempat tinggal baru si kucing.
“Kalau gitu, mana bisa dia minum,” teriakku.
“Bisaaaa,” teriaknya sambil beranjak keluar rumah.
Setelah selesai makan aku segera masuk kamar dan bersiap sholat isya’ seorang diri. Setelah itu mengambil jam tidurku lebih awal karena terlalu lelah mengerjakan tugas mading untuk lomba antar propinsi yang akan dikumpul beberapa hari lagi.
Keesokan harinya aku dan Fian berangkat sekolah seperti biasa.
Aku sedang mengikat tali sepatuku, semestara Fian yang sudah komplit sejak jam 6 tadi sedang sibuk mengurusi kucingnya yang baru saja ia pungut kemarin sore.
“Tuh, kan. Apa kubilang. Mana bisa baru lahir langsung jilat-jilat wadah,” aku memulai sindiranku. Fian tidak meresponku. Ia terus menyelesaikan pekerjaanya melap si bayi kucing dengan handuk basah dan air hangat.
“Aku duluan, ya,” laporku sambil beranjak pergi.
“Ya, sudah. Sana! Pergi sendirian, pulang sendirian, sana!” tiba-tiba ia berteriak jengkel. Anak ini benar-benar tukang sewot. Sepertinya hormon “gampang bete” Mama menyangkut beberapa ke Fian.
“Iya… iya…” aku mengalah. Kemudian berdiri seperti monyet sakit perut di depan pagar rumah sambil menunggu si ratu sewot itu.
Akhirnya Fian membuka pagar dan siap untuk berangkat ke sekolah. Lalu seperti biasa kami berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki.
Di sekolahpun seperti biasa. Jam pelajaran kuhabiskan tanpa teman sebangku. Jam istirahat kuhabiskan membaca novel sambil mendengarkan ipod yang berisi instrumen-instrumen penenang di mejaku, pojok kiri belakang, dekat dengan jendela. Aku tidak memiliki satu orangpun teman karena masalah keterbatasanku beraktivitas. Semua laki-laki di kelasku selalu mencuri-curi kesempatan untuk menyelaku. Menyindir penyakitku yang tidak mengizinkanku berolahraga berat. Tidak dapat mengikuti kegiatan mereka sehari-hari bermain futsal dari pulang sekolah hingga diusir satpam sekolah karena sekolah akan ditutup. Membayangkanku bergabung bersama mereka saja sudah membuatku berkeringat. Bisa-bisa nyawaku loncat di tengah-tengah permainan. Aku lebih memilih berjalan dengan santai dari rumah ke sekolah berkali-kali. Satu-satunya perkumpulan yang bersahabat denganku hanyalah klub mading yang berisi adik-adik kelas kaya yang kulitnya mulus-mulus alias tidak pernah berolahraga, sama sepertiku. Bedanya, hidup mereka lebih makmur karena mereka dapat dengan leluasa mengkonsumsi kalori sebanyak yang mereka inginkan. Sedangkan aku harus memakan makanan-makanan tertentu saja. Selalu menjaga mulutku dari makanan yang dapat memperburuk keadaanku.
Sesekali terdengar bunyi ‘klik’ dari seberang jendela di sampingku. Ketika kutoleh, tidak ada siapa-siapa. Ini bukan pertama kalinya kurasakan. Sejak pertengahan kelas sebelas hingga memasuki tahun ajaran baru ini hal tersebut sering kali terjadi. Selain itu, akhir-akhir ini ada beberapa batang coklat berisi surat penuh cinta jatuh di mejaku, dari luar jendela. Kadang ada no name, kadang beberapa nama tercantum berurutan seperti kertas tugas kelompok. Kadang pula dicantumkan sebuah nama, tapi beberapa hurufnya disamarkan dengan diberi bintang. Sungguh, aku bangga dengan sekolah ini yang terus melahirkan anak-anak kreatif di dalamnya. Toh ada nama atau tidak, ujung-ujungnya juga akan kumakan. Sekeping coklat dapat mencegah resiko penyakit jantung. Walaupun sudah terserang duluan, mungkin saja itu akan membawa dampak baik.
Setelah bel sekolah tanda pulang sekolah berbunyi, aku segera mengemasi barang-barangku dan menuju gerbang samping untuk menunggu Fian. Kemudian pulang bersama. Sebenarnya aku malas, tapi ini perintah Bos Besar, Mama. Fian selalu bermain dulu bersama teman-temannya sebelum beranjak ke gerbang untuk pulang. Tak ada yang lebih menyebalkan daripada itu. Seseorang menunggu tepat pada jam dimana matahari sedang dalam keadaan panas yang menyengat. Sementara seseorang yang ditunggu sedang bersenang-senang dan tertawa bersama teman-temannya di dalam kelasnya. Begitu aku akan mengungkapkan kekesalanku kepadanya selama perjalanan, ia selalu menjawab dengan sangat cerdas. Kata-kata yang kudengar balik justru selalu membuatku menjadi seseorang yang berdosa.
- - - - - - - - - -
Seperti biasa, sodara-sodara.
nge - STUCK sampai disini.
Cerita sudah mengalir . . . . . tapi susah bikin konflik
dan males ngetik
-__-
nge - STUCK sampai disini.
Cerita sudah mengalir . . . . . tapi susah bikin konflik
dan males ngetik
-__-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar