Pages

Start a New Begining

"Pilih aja yang mana yang kamu suka"
"Aku pilih jurusan x ya?"
"Jangan. Itu begini begini begini..."
"Sembarang, deh"
"Oke. Bisnis aja, ya"
"Iya, sudah"

Hanya dengan beberapa kalimat saja sudah meruntuhkan semua harapan yang selama ini kuimpikan. Apanya yang 'aku suka'? Sebenernya aku tahu kalau mereka tidak asal memberikan usul tersebut. Mereka berpikir lebih matang daripada pemikiranku yang sedangkal kolam renang karet (yang di tiup-tiup dulu kalau mau dipakai itu lho). Tapi kenapa aku tetap keras kepala? Aku tetap belum bisa terima. Walaupun kenyataannya aku nggak sanggup nolak perkataan mereka. Nggak sanggup, cuma buat bilang "nggak".
Aku harus ngapain, sekarang? Mempertahankan mimpiku? Atau menuruti kata-kata mereka?

Banyak yang bilang, lebih baik mengikuti apa kata hatimu, karena hidup ini kamu sendiri yang menjalankan. Bukan orang lain. Kalau kamu sudah yakin dengan plihanmu, kamu akan menggapai puncak dengan sendirinya. Walaupun harus melalui lembah gelap yang puanjaang.

Aku pertama selalu berpikir demikian dan terus menyalahkan mereka yang dengan gampangnya membuang sesuatu yang kuimpikan sejak dulu. Merasa bahwa mereka hanya memikirkan gengsi jika dilihat dari luar, tanpa mengerti perasaan si karakter utama. Putus asa. Merasa bahwa, apa gunanya belajar mati-matian di sekolah, kalau ujung-ujungnya hanya untuk mengejar sesuatu yang sama sekali jauh dari impianku? Ini aku. Ini hidupku. Apa mereka berpikir terlalu matang, sampai lupa mengenai perasaanku?

Membenci semua orang pintar di sekolah. Membenci mereka yang berusaha keras dengan nilai-nilai mereka. Menganggap bahwa jika mereka melihatku dari luar, mereka pasti hanya akan menganggapku anak bodoh pemalas yang tidak ingin berusaha. Makanya tidak pernah mendapat nilai yang baik.
Apalagi mendengar kata-kata, "Makanya, BELAJAR". Geli. Mereka tahu apa tentangku? They said that because they had a chance to choose their own path, right? Asal ngomong. Sok pintar. Semua kata-kata kasar berkumpul di benakku. Aku mulai membenci semua yang ada di sekitarku. Aku benci pandangan mereka. Aku lebih membenci diriku sendiri yang tidak bisa mebuat keputusan.


Tapi ketika di rumah, apa yang mereka lakukan? Dukungan. Dukungan dan harapan. Mereka selalu menaruh harapan mereka buatku. Kadang aku merasakannya, tapi kuabaikan. Mereka selalu menceritakan mimi-mimpi mereka. Tapi aku terlanjur tidak mau tahu.

"Trid, coba kalau nanti kamu begini... kuliah disini... terus kerja disini... nanti bisa begini... begini..."
"Trid, nanti kalau kamu kuliah disini, kamu pilih ini... ini... terus lanjut kesini..."

Kata-kata itu yang pertama kali kuanggap sebagai celetukan yang tidak akan pernah terwujud, lama-kelamaan menamparku. Menampar seluruh kebodohan dan keegoisanku. Aku akhirnya sadar bahwa impian mereka lebih besar dari apa yang aku bayangkan selama ini. Aku ini harapan mereka.
Apa salah, mereka memiliki mimpi seperti itu?

Aku ini hidup untuk siapa? Aku hidup demi apa? Apa aku hidup sendiri? Nggak, trid. Bodohnya. Aku hidup bersama orang-orang yang aku cintai. Aku nggak hidup demi diriku sendiri. Aku hidup demi mereka semua. Selama ini aku belum pernah membuat mereka bangga akan kehadiranku. Apa dengan ini aku akan membuat mereka lebih sedih lagi? Apa arti keberadaanku yang sekarang jika tidak dapat membahagiakan mereka nantinya?

Bodoh. Bodohnyaaaa. Kenapa kesadaran ini baru datang sekarang? Setelah semua kesempatanku untuk berjuang sudah hampir habis. Apa aku sudah terlambat? Apa aku tidak bisa mengulang kembali? Harus apa aku sekarang? Menyesal? Itu hanya akan memperburuk keadaanku.

Tidak. Pasti masih sempat. Aku akan berusaha mulai dari sekarang. Ya. Memulai awal yang baru. Allah is watching me. He's here, by my side.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar