Pages

Lebaran ^^

31/08/11
Assalamualaikum.
Minal Aidin Walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin...
Aku sadar, aku bukan anak yang manis, lemah lembut, dan kadang berbicara hingga menyinggung perasaan...
Mohon dimaafkan...

Iya... saya maafkan juga... Kita saling memaafkan, ya...

Tadi pagi anggota keluarga yang sholat ied, sisa dari yang sholat kemarin, 11-3=8 orang. Tiga orang sisanya sibuk di rumah dari pagi, menyiapkan makanan buat tamu.




Setelah semua balik dari masjid As-Salam depan rumah, kami duduk berurutan dan memulai sebuah acara yang sakral dan menggetarkan hati, yaitu acara sungkeman.
Dimulai dari Bapak, silsilah paling tua, lalu Mama, Om Her, Bu Dian, Mas Dadit, Aku, Mas Tedi, Doni, Ian, dan yang terakhir si Obi.
Ada kejadian lucu di tengah-tengah acara, yang tiap tahun pasti selalu terulang.
Kan kita semua tahu. Pada umumnya ketika sungkeman, yang muda sungkem ke yang tua. Meminta maaf, lalu yang tua mendoakan dan meminta maaf balik...
contoh...

Kita : "Pak... maaf ya...kalau selama ini punya salah sama bapak..."

Bapak : "Iya... Bapak juga ya... semoga kamu menjadi anak yang sholeh, pinter, blablabla..." (biasanya memakai bahasa jawa)

Tapi malah jadi begini...

Obi : "Pak... semoga bapak diampuni dosa-dosanya, ya... Semoga bapak kerjanya lancar... Bisa cari uang yang banyak... blablabla"

Entah darimana ia mempelajari adat bersungkem seperti itu. Suasana ruang tamu yang tadinya serius seketika terdengar cekikikan orang-orang menahan tawa karena melihat adik yang satu ini.

Kemudian setelah itu dilanjutkan dengan..... jepret... jepret...


















Tak kusangka mereka sudah sebesar ini :') padahal dulu tingginya masih balapan denganku. hahaha...
Ini deh bahagianya berkumpul bersama saudara-saudara. Tertawa bersama, kena marah juga bersama. Atmosfer kamarpun sudah terasa seperti warnet.



sumpek
-___-

Semoga suatu saat kami bisa berkumpul lagi seperti ini. Dan semoga bisa lengkap 15 bersaudara. Tidak ada suatu masalah apapun yang mungkin dapat memisahkan salah satu di atara kami.
Amin, Ya Allah :)

Lebaran duluan?

30/18/11

Assalamualaikum.

Hari ini aku ikut lebaran duluan. Karena di kilo (daerah rumahku yang sering dihina karena jauh dari kota. hehe) yang melaksanakan sholat ied hanya di daerah kilo 10 (setauku). Dan karena disitu dekat hutan, jadi kami memutuskan mencari jamaah di sekitar kota saja. Tapi waktu kita cari di sekitar lapangan merdeka, ternyata sepi.
Karena aku ingat kalau si Au juga lebaran hari ini, jadi kami pindah haluan mencari di sekitar Balikpapan Baru, dekat Rumahnya. Dan akhirnya juga ketemu Au disitu. Sore itu juga aku mampir ke rumahnya. Karena Pamit lagi mudik dan Nunung tidak bisa, jadi aku sendirian kesana. Malu...



aaaah... kenyaaang...
thanks, Au ^^


Dari kesebelasan orang di rumah, yang sholat ied hari ini hanya tiga orang.
Bapak, Mama, sama aku.

But it's not a big deal, right?

Ini bukan masalah percaya mana-percaya mana. Yang penting, setidaknya kita tahu alasan dari apa yang kita pilih. Kalau kita cuma asal ikut, asal mencela, tapi hanya memakai alasan kafir-kafiran, yaaah malu-maluin aja.

Tadi pagi Bapak mengajak kami diskusi mengenai masalah ini. Beliau menjelaskan bahwa cara penentuan tanggal 1 Syawal itu ada 2 macam. Yaitu dengan cara hisab, penentuan memakai perhitungan, dan dengan cara melihat hilal atau bulan.
Di Indonesia, seperti berita-berita tadi malam, sudah meletakkan berbagai titik (sekitar 30 titik dari berbagai daerah) untuk mengamati munculnya hilal itu. Setelah mengamati, mereka mengadakan sidang isbat setelah adzan maghrib, dan sepakat menentukan 1 syawal pada tanggal 31 Agustus. Beritanya baru disiarkan sekitar setelah isya' (WITA). Dari pengamatan-pengamatan tersebut, sekitar 6 titik dilaporkan bahwa mereka melihat datangnya hilal, sisanya tidak.

"Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang (tidak terlihat) maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari"
(HR. Bukhari-Muslim)

Pada titik-titik tersebut, baru terlihat 0, ... sekian derajat. Sedangkan penetapan hilal minimal 4 derajat. Setelah melalui perhitungan yang panjang, hilal belum mencapai akan mencapai 4 derajat pada keesokan harinya. Jadi setelah dilangsungkan rapat yang menyangkut seluruh umat di Indonesia, diputuskan untuk menggenapkan puasa mereka menjadi 30 hari.
Itu perhitungan dengan cara melihat hisab.

Menurut cara hilal, yang juga dianut oleh negara-negara Islam pada umumnya, bahwa hilal tersebut memang telah terlihat, berapapun derajatnya. Dan dari beberapa berita yang tadi pagi bapakku baca, di Filipina, Arab, dan beberapa negara yang juga mengamati dari posisi mereka masing-masing telah melihat hilal tersebut.
Seperti sahabat Rasul yang melaporkan bahwa ketika ia melihat hilal. Ketika Rasul menyuruhnya bersumpah, ia berani untuk bersumpah. Kemudian Beliau langsung menyuruhnya berhari raya pada keesokan harinya. Mereka tidak terlalu cenderung ke masalah derajat hilal yang terlihat. Itu yang mungkin menjadi cara pandang mereka.

Dengan adanya perbedaan penetapan 1 Syawal ini, tadi pagi aku juga sempat baca berita di internet dan mendengar beberapa orang di jalan mengomentari jamaah yang berbeda paham dengan mereka dengan kata-kata yang cenderung memojokkan. Yang mereka bilang ada paham Muhammadiyah, pemerintah, pemerintah lebih benar, tidak paham agama, tidak bisa berpikir secara logika, ini lah, itu lah, dan lain-lain.

Sebenarnya semuanya tidak ada yang salah, kan? Semua melakukan penelitian sesuai dengan ajaran Rasul dan Al-Qur'an. Semuanya diteliti oleh orang-orang yang bukan sekedar orang biasa, loh. Para peneliti-peneliti tersebut juga merupakan pakar-pakar bersertifikat yang juga sangat paham akan ajaran Islam. Setelah itupun mereka berkumpul lagi untuk merapatkannya.

Jadi pilihlah apa yang kamu yakini dalam hati. Bukan hanya sekedar ikut-ikut tanpa mengerti alasan yang sebenarnya. Apalagi sampai menyindir mereka yang berbeda pendapat sebagai kaum-kaum yang ajaranya lain. Itu tidak ada hubungannya.
Semua ajaran Islam yang benar itu sama. Memiliki 1 pedoman yang sama. Tuhan yang sama dan Rasul yang sama.

Selain itu, bapakku juga ingin menunjukkan sama seluruh keluarga di rumah ini kalau perbedaan pendapat itu sama sekali bukan... apa ya... sesuatu yang pas buat diajak berdebat, deh. Dan semua yang berdiskusi tadi pagi bisa memahami itu.
Bener-bener deh, Bapakku ini. Paling TOP sedunia! ☺

Alhamdulillah, Catetan Biologi Kelar

28/09/11

Assalamualaikum.

Alhamdulillah, Ya Allah... Akhirnya saya dapat menyelesaikan catetan Biologi yang ketinggalan banyak ini. Dalam watu sehari 3 malam (cuma sehari doang ngerjain pas siang). Terlebih lagi harus mengulang dari awal. Catetan saya yang sebelumnya basah dan berlumut serta bau setan, karena -entah bagaimana caranya- bisa keselip di garasi. Ya basah lah kena air hujan. Langit-langit garasi kan nggak sepenuhnya ketutup.


ini detik-detik sebelum perombakan
tapi botek.
orang barusan aja kok motonya.




dan thanks to pamit, catetan semester 2 ku jadi lebih lengkap.
soalnya ibunya pake elektronik book terus, aku bingung nyatetnya.
begitu ngasih catetan, tabel-tabel doang.
aku ndak bisa nyatet rapi kalo di sekolah.
harus di rumah (alesan).










bisa dilihat keadaan sebelum perombakan.
kasar, basah. tulisan kebleber-bleber, bau.
ini cuma beberapa halaman yang kutunjukin.
nguploadnya lama, males.


Dan ini tips buat anak-anak yang males nyatet. Jangan sekali-sekali ngeprint di kertas HVS, lalu ditempel. Nanti kalo sewaktu-waktu bukumu basah, tinta printer nggak bisa tahan sama air. Jadi bakal kebleber kemana-mana itu nanti. Bahkan bisa nutupin catetan-catetan yang kamu tulis sendiri. Wuuuh sakit hatinya ndak karuan itu.










dan ini hasil setelah perombakan . . .
JRENG JRENG

yang di bawah ini catetan semester 2.




Alhamdulillah... Selesai sudah satu kewajiban.
Walaupun kekacauan yang di akibatkan...





Dari 14 lembar menjadi 21 lembar.
Semester 2 yang ditambah padahal hanya 5 lembar saja. Banyangkan betapa padatnya catetan saya sebelumnya -___-
Makanya, Mari Kita Mencatat, teman-teman !
Mencatat Itu Sehat ! Buktinya tangan kananku sekarang menjadi lebih sehat nih.
Lihat aja perbedaan tangan kiriku dan tangan kananku.

kiri
biasa aja




kanan
lebih sehat

Ternyata Kakakku bawa kamera !

27/08/11

Assalamualaikum.

Selama ini buka bersama teman-teman beberapa kali nggak poto-poto karena kukira Bapakku ninggalin kameranya di tempatnya kakakku, disana. Sekalinya dengan santainya pas ngobrol-ngobrol barusan, kakak tersebut berkata :

"Loh, kenapa nggak bilang dari kemaren? Aku bawa kamera nih. Sudah kuganti batre lagi. Masih fulllllll"

KRIK.

Langsung kusamber tuh kamera dari kopernya. Dan melampiaskan kekesalanku dengan berpoto-poto secara membabi buta.





Oh, iya. Belum tak kenalin sama kucingku, ya? Ini dia. Bapakku bawa dari kantornya. Sebenernya dia punya temen yang katanya putiiiih banget. Aku sih belom pernah liat.
Dia nggak punya nama, kesian. Jadi tiap orang di rumah manggil dia sesuai mood saja.
Aku sering manggil dia "iskandar". Tapi orang-orang rumah tidak menyukainya. Entah mengapa.
Kalau Obi sering manggil dia "Kuciiing". "i" nya suka dipanjangin sama dia, soalnya dia suka gemes-gemes sendiri gitu sama sesuatu yang imut-imut (maaf ya, adik saya kurang maco). Waktu itu pernah dikasih nama "Nero", kadang dipanggil "Kiti kiti".
Kalau Mas Dadit, suka manggil "Eh, kamu. Sini kamu" atau "Apa kamu, cing". Dia juga pernah manggil "Tina" karena kucingnya betina.
Kalau Mama, manggil dia kadang "Wati".
Kalau Bapak sih jarang manggil, karena beliau jarang di rumah.

Status lucu di Pesbuk

26/08/11

Assalamualaikum.

Barusan aku buka Facebook, dan aku menangkap sebuah status yang lumayan ngejreng dengan kata-katanya. Seorang temanku yang memang sering banget ngupdate status-status galau gemilau.

" Tuhan, aku ingin mati, tapi aku ingin kamu menemaniku. Jadi aku tidak sendirian menghadapi KEMATIAN !! "

Begitu, katanya. Tiba-tiba aku sensi.
Tidak sendirian menghadapi kematian? Apa itu? Memangnya walaupun kamu mengajak teman-teman sekelasmu untuk mati secara berjamaah, kalian akan dikubur dalam satu lubang? Apa nanti di bawah tanah kalian akan bergandengan tangan?

Kemarin sempat mendengarkan ceramah di salah satu siaran radio menjelang buka puasa. Mereka membahas mengenai suatu masalah dan kebesaran sebuah hati untuk menampungnya. Masalah sebesar apa yang membuatnya menjadi seperti itu? Sebesar apa hatinya dapat menampung semua itu? Entah masalahnya yang terlalu besar atau hatinya yang terlalu kecil.

Apa itu ngaruh? Apa nulis itu sebagai status di Facebook itu ngaruh? Bakal ada yang akan mati bersamamu? Atau hanya untuk mendengar komentar orang tentang dirimu? Sadarlah, teman. Jaga omonganmu dari kata-kata yang dapat membuat kesal Tuhanmu. Apa tidak ada satupun di dunia ini yang bisa kamu syukuri? Apa kamu tidak memiliki apa-apa di dunia ini?
Kamu telanjang? Nggak, kan? Kamu masih bisa pakai baju lengkap, kan?
Kamu sekolah, kan? Kamu punya kesempatan untuk cari ilmu, kan?
Anggota badanmu masih lengkap, kan? Kamu cantik. Sadarlah itu.
Kamu ngupdate status pake apa? Hape? Laptop? Kamu punya salah satu dari itu, kan?
Berapa kali sehari kamu makan (kalau nggak puasa)? Kamu masih punya kesempatan untuk kenyang, kan?
Mengapa kamu ingin mati? Apa sudah tidak memiliki tujuan hidup lagi? Apa tidak ada yang bisa kaumu banggakan dari dirimu? Rencana untuk hidup mandiri di masa depan, pasti punya, kan? Semua orang punya itu. Teguhkan itu. Buat itu sebagai salah satu... apa, ya... pegangan. Pegangan hidup buat hidup kamu. Patokan utama. Walaupun kamu sangat membenci hidup kamu yang sekarang. Yakin aja, kalau di luar sana masih banyak yang lebih membenci diri mereka sendiri daripada kamu membenci dirimu. Banyak mereka yang hidupnya lebih hancur daripada kamu. Mereka masih hidup sampai sekarang karena mereka memiliki tujuan. Mereka tahu mereka hidup untuk siapa dan untuk apa.

Mungkin hari ini kamu bisa bilang hidupmu busuk. Nggak punya arti nggak punya makna. Tapi suatu saat nanti kamu akan mensyukurinya berlipat-lipat ganda. Trust it. It works. (iklan)

Aku juga pernah lah, ngalamin masa-masa dimana hidupku kayak sampah. Banyak hal yang membuatku merasa nggak berguna. Merasa kalaupun aku nggak ada, dunia nggak bakal berubah sedikitpun. Jangan bilang ini nggak separah yang pernah kalian rasakan. Aku juga pernah berpikir untuk ngilang dari dunia ini. Tapi untungnya aku masih punya iman. Tiba-tiba aku takut sama Dia. Bagaimana kalau Dia marah nanti. Itu menyadarkanku kalau masih banyak yang harus aku lakukan. Aku masih punya banyak tanggung jawab. Terutama tugasku sebagai manusia dan sebagai anggota dari keluarga ini. Ya, demi diriku sendiri, juga demi orang lain. Aku akan membuat dunia ini membutuhkanku, suatu saat.

...

All you want to do is not always what you have in your mind
Can’t you see something new coming on your way?

Try to teach you how
I don’t want anymore hatred (hatred)
‘Cause no one ever sucks!

...
- One Ok Rock - Hitsuzen Maker

*Lagu favoritku sama si iyeng nih (~*w*)~

Si Obi Punya Blog

24/08/11

Assalamualaikum !

Adekku bikin blog, loh. Kuajarin, biar keren. (padahal aku ndak ngerti-ngerti amat juga tentang blog -___-)

Dan setelah kuajari begini dan begitu, lalu apa balasannya??? Blogku malah dikatain, sodara-sodara.
Memang salahku sih awalnya. Karena chat box ku kosong kesian, jadi kusuruh adekku ngechat-ngechat dikit lah biar rada rame.

Aku : "Bi, kasih komen ke di chat box ku, nah"
Obi : "Ndak mau nah, mbastrid"
Aku : "Tinggal nulis aja susah amet, sih"
Obi : "Aku ndak tau mau nulis apa"
Aku : "Apa, kek"
Obi : "Males aku nah, mbastrid"
Aku : "Cepat sudah! Aku ndak liat, pang"

Pertama dia nulis "Personal Message", mungkin karena bingung mau nulis apaan.

Aku : "Apa ini? Yang betul nulisnya!"

Obi nulis lagi. Lamaaaa betul. Aku gak liat sambil main laptopnya dia. Dia ngetik di laptopku.

Obi : "Weird itu aneh kan, mbastrid?"
Aku : "Iya. Kenapa emangnya? Eh, jangan nulis yang macem-macem!"
Obi : "Yah, telanjur. Kamu ndak bilang" sambil lari keluar kamar.

Dan waktu kulihat . . .



ndak sedep gitu kalimatnya.

=______=
The song of midnight shouted out, and ever since then...

The tracks of red, fading twilight
The stars sit on the sky
Every sound was played
Even if I’m not told to be honest, the tears take my thoughts along
A small sea formed at my feet

The sky doesn’t move, the sun just rises and falls
The ground doesn’t move, it’s up to you to walk or not

The song of midnight shouted out
The truth is, I hate being alone
I’ve known what is important ever since that day

A small spoon is enough to scoop out happiness (lol)
There’s just the question of if there are people to share it with

The days I pretended to be strong come back to me
It’s like showing my heart glasswork, a fleeting dream
Throwing purity around is scary
We’ve all pretended we’ve had it at one point in this opaque world we live in

I walked, dragging a heavy freedom along
When the farewell came, it looked like the sky was leaving

The rain of goodbye muttered, and my umbrella was open
And now opened kindness will always be in my chest

I haven’t given up on the hope that we will meet again
I made a promise to the people who sleep with stardust in their beds

There was nobody there for the boy who sat down in a city without seasons
But despite that . . .

Cold children that look up at the stars . . .

The song of midnight shouted out
The truth is, I hate being alone, and not knowing whether you’ll keep on being alone

A small spoon is enough to scoop out happiness
There’s just the question of if people exist that can share it

The song of midnight is shouting out
Truth is, I was lonely
Even if it gets erased in the radiance of the sun

Should we wave the flag now? Should we come together?
Should we just sing? Anything is fine
There’s just the question of whether or not you’ll be here or not

- Aqua Timez - Mayonaka no Orchestra

My Untitled Story 2

Siang ini terasa begitu panas. Aku dan adikku terpanggang di bawahnya. Apalagi sekolah kami yang jaraknya sangat tanggung, sekitar dua puluh meter dari perumahan, menyuruh kami berjalan kaki pulang-pergi dari rumah. Mama tidak mengizinkanku mengendarai motor. Untuk apa membuang-buang uang untuk bahan bakar motor sedangkan masih bisa dijangkau dengan kaki, lagipula berjalan kaki dapat menjadi pengobatan alami bagi para penderita penyakit jantung, pikirnya. Karenanya setiap kali menggapai rumah, baju kami selalu basah kuyup oleh keringat. Mengingatnya hanya menambah perasaan badmood-ku hari ini.

Setelah memasuki perumahan, kami masih harus berjalan delapan meter lagi untuk sampai ke rumah. Ketika melewati tempat pembuangan sampah perumahan, kami mendengar suara seekor kucing yang tidak seperti biasanya. Suaranya agak lemah dan sesekali terdengar. Aku tidak terlalu menaruh perhatian terhadapnya dan meneruskan perjalananku menuju rumah. Sampai akhirnya sadar kalau adikku ternyata masih tertinggal di dekat tong sampah besar berwarna kuning itu.

“Fi, kamu ngapain?” teriakku dari jauh.

Fian meletakkan telunjuk di depan mulutnya, menyuruhku diam. Kemudian mengajakku mendekat dengan gerakan tangannya.

“Malas. Aku duluan, ya,” teriakku sambil berbalik arah, meneruskan perjalanan.
“Kaaak Viky! Sini! Cepeeeet,” teriak Fani memanggilku kembali. Padahal barusan ia menyuruhku diam.

Terpaksa aku berbalik arah dan memenuhi keinginannya melihat kucing yang sepertinya sedang melahirkan tersebut.

Aku akhirnya memilih duduk di bawah pohon, agak jauh dari tong sampah tersebut. Tapi kucing berbulu kuning-putih yang sedang melahirkan tersebut masih dapat kuamati dengan jelas. Fian jongkok di dekat kucing yang sedang melahirkan tersebut. Ia sangat tertarik dengan kejadian-kejadian seperti ini.

Dari bawah pohon aku melihat sebuah kepala mulai muncul dari bawah ekor si kucing. Kucing itu terus merintih dan berusaha bernapas semampunya. Ia mendorong bayinya hingga badan kecil berbulu putih-kuning serupa dengan induknya itu keluar sepenuhnya. Darah berceceran tidak karuan di sekitarnya. Tak lama setelah badan anak pertama sepenuhnya terlihat dari luar, muncul lagi sebuah kepala sama seperti sebelumnya. Begitu seterusnya sampai akhirnya kepala ketiga mulai keluar. Si induk tiba-tiba berhenti mengeluarkan tenaga penuhnya. Ia bernapas seperti biasa sebelum anak terakhirnya keluar sepenuhnya. Hingga akhirnya tidak bergerak sama sekali.

“Mati itu, Fi. Mati,” beritahuku kepada Fifian yang daritadi sama sekal tidak menolehkan kepalanya kemana-mana.

Sesekali suara tarikan ingus keluar dari hidung anak perempuan yang baru masuk SMA tersebut. Tak lama kemudian ia membalikkan kepalanya dengan wajah yang berlumuran air mata.

“Gimana ini, kak?” tanyanya sambil terisak.

“Eeeeh, malah nangis,” aku kaget melihat wajah basah Fian. Sebenarnya ia memang gampang sekali tersentuh oleh sesuatu yang mengharukan.

“Anaknya yang terakhir belum keular,” adunya lagi dengan isakan tangis yang membuat orang iba melihatnya.

“Yasudah, ayo pulang,” aku segera menyelempangkan tasku ke bahu kananku seperti biasa.

“Kubur dulu, kak,” ucapnya sambil mencari sesuatu di tasnya untuk dapat mengubur kucing tersebut.

“Eeeeh, ni anak nyusahin aja,” kataku.

“Yasudah, pulang sana,” jawabnya sebal.

“Eeeeh,” ucapku sebal. Kemudian berusaha mencari sesutau di tasku yang dapat membatu Fian menyelesaikan masalahnya. Dan akhirnya aku menemukan sebuah kain putih bekas praktek biologi tadi pagi.

“Nih,” aku memberikan kain tersebut kepada Fian. “Tutupin aja di atasnya, nanti biar orang lain yang ngubur,” lanjutku.

“Nggak, nanti kalau ni kucing malah dibuang gitu aja, gimana?” jawab Fian.

“Ah, terserah. Aku mau balik,” aku berbalik menuju rumah kembali.

Sesekali aku melihat jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek sedang menuju ke angka enam. Astaga, lama sekali kami menonton acara kucing melahirkan tadi. Anak-anak gank motor sudah mulai berlalu-lalang melewati kami. Sedangkan Fian masih sibuk dengan bangkai-bangkai kucing tersebut. Mau tidak mau aku harus memperhatikan Fian agar anak-anak nakal tersebut tidak menjahilinya.

Adzan maghrib telah berkumandang. Bersamaan dengan Fian yang akhirnya menyelesaikan kegiatannya mengubur kucing-kucing yang baru dilihatnya beberapa jam lalu. Ia berdiri, tapi tidak dengan tangan kosong. Kain putih yang kuberikan tadi dibawanya sambil menggendong salah satu dari anak sang induk tadi. Kali ini kami benar-benar melanjutkan perjalanan kami sampai rumah.

“Aduh, ngapain kamu bawa itu ke rumah?” keluhku lagi.

“Habis, cuma dia yang masih hidup,” jawabnya kasihan.

“Sisanya mati semua?” tanyaku sambil menjaga jarak dengan Fian.

Fian hanya mengangguk.

Kuperhatikan kucing tersebut sedikit-sedikit. Badannya berlumuran darah. Au masih dapat melihat tali pusar di perutnya. Sesekali mengeong. Kukira mati, karena perutnya tidak terlihat kembang-kempis. Tidak sedikitpun menggugah hatiku. Sebenarnya… aku memiliki alergi terhadap hewan berbulu. Aku bisa bersin lebih dari tiga kali ketika berada di sekitar mereka. Oleh karena itu mulai dari kecil aku berusaha menjauhkan diri dari hewan-hewan berbulu.

Sesampainya di rumah, kami dimarahi oleh Mama. Seharusnya kami sampai di rumah paling lama jam lima sore, tapi ini sudah memasuki waktu Maghrib. Aku dan Fian segera membersihkan diri dan bersiap untuk sholat berjamaah bersama Mama dan Papa juga. Fian menaruh bayi kucing tersebut di kotak kardus kemudian ia beri selimut kusam yang tidak terpakai lagi. Rencananya besok ia akan mulai membersihkan darah, kotoran, dan tali pusarnya.

“Dasar jorok. Orang pemalas itu harusnya nggak usah bawa-bawa kucing ke rumah,” sindirku.

“Masa aku mau bersihin darah kucing malem-malem?” tanyanya sewot.

Setelah sholat maghrib berjamaah kami makan malam bersama di ruang tengah sambil menonton acara berita malam di televisi. Aku melihat gerak-gerik Fian yang sepertinya ingin meminta izin Mama untuk memelihara kucing tadi. Mama biasanya tidak menyukai hewan seperti kucing. Setiap ada kucing liar yang masuk rumah lewat pintu belakang beliau selalu menakut-nakutinya dengan sapu agar segera keluar.

“Ma, Fian boleh melihara kucing?” Fian mulai membuka mulut dengan nada pasrah. Dibolehin, ya dirawat. Nggak dibolehin, ya dibuang lagi. Aku hanya tertawa kecil karena sudah mengetahui jawaban yang akan keluar dari mulut Mama. Tentunya tidak.

“Iya,” jawab Mama mengagetkanku. Mama benar-benar moody.

“Horeeee,” Fian bahagia. Ia segera menyelesaikan makanannya dan membuat susu putih manis di mangkuk untuk si kucing.

“Ma, kucingnya bau. Suka eek sama pipis sembarangan,” aduku ke Mama.
Mama malah memukulku dengan sikutnya.

“Ini lagi makan, malah ngomong eek dama pipis,” kata Mama.

“Mama juga, tuh,” jawabku pasrah.

“Tapi Mama nggak mau lihat eek sama pipisnya berserakan di teras, ya, Fi,” suara Mama berusaha menggapai kuping Fian di dapur.

“Mama ini. Orang lagi makan, malah ngomong eek sama pipis keras-keras,” sewot Papa.

“Kerasan Papa, ngomongnya!” Mama sewot balik. Aku menahan tawa sambil menonton televisi dengan makananku.
Tak lama kemudian Fian selesai dengan semangkuk kecil susu putih untuk diberikan ke kucing tersebut dan menuju teras samping tempat dimana ia meletakkan kardus untuk tempat tinggal baru si kucing.

“Kalau gitu, mana bisa dia minum,” teriakku.

“Bisaaaa,” teriaknya sambil beranjak keluar rumah.
Setelah selesai makan aku segera masuk kamar dan bersiap sholat isya’ seorang diri. Setelah itu mengambil jam tidurku lebih awal karena terlalu lelah mengerjakan tugas mading untuk lomba antar propinsi yang akan dikumpul beberapa hari lagi.

Keesokan harinya aku dan Fian berangkat sekolah seperti biasa.
Aku sedang mengikat tali sepatuku, semestara Fian yang sudah komplit sejak jam 6 tadi sedang sibuk mengurusi kucingnya yang baru saja ia pungut kemarin sore.

“Tuh, kan. Apa kubilang. Mana bisa baru lahir langsung jilat-jilat wadah,” aku memulai sindiranku. Fian tidak meresponku. Ia terus menyelesaikan pekerjaanya melap si bayi kucing dengan handuk basah dan air hangat.

“Aku duluan, ya,” laporku sambil beranjak pergi.

“Ya, sudah. Sana! Pergi sendirian, pulang sendirian, sana!” tiba-tiba ia berteriak jengkel. Anak ini benar-benar tukang sewot. Sepertinya hormon “gampang bete” Mama menyangkut beberapa ke Fian.

“Iya… iya…” aku mengalah. Kemudian berdiri seperti monyet sakit perut di depan pagar rumah sambil menunggu si ratu sewot itu.

Akhirnya Fian membuka pagar dan siap untuk berangkat ke sekolah. Lalu seperti biasa kami berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki.

Di sekolahpun seperti biasa. Jam pelajaran kuhabiskan tanpa teman sebangku. Jam istirahat kuhabiskan membaca novel sambil mendengarkan ipod yang berisi instrumen-instrumen penenang di mejaku, pojok kiri belakang, dekat dengan jendela. Aku tidak memiliki satu orangpun teman karena masalah keterbatasanku beraktivitas. Semua laki-laki di kelasku selalu mencuri-curi kesempatan untuk menyelaku. Menyindir penyakitku yang tidak mengizinkanku berolahraga berat. Tidak dapat mengikuti kegiatan mereka sehari-hari bermain futsal dari pulang sekolah hingga diusir satpam sekolah karena sekolah akan ditutup. Membayangkanku bergabung bersama mereka saja sudah membuatku berkeringat. Bisa-bisa nyawaku loncat di tengah-tengah permainan. Aku lebih memilih berjalan dengan santai dari rumah ke sekolah berkali-kali. Satu-satunya perkumpulan yang bersahabat denganku hanyalah klub mading yang berisi adik-adik kelas kaya yang kulitnya mulus-mulus alias tidak pernah berolahraga, sama sepertiku. Bedanya, hidup mereka lebih makmur karena mereka dapat dengan leluasa mengkonsumsi kalori sebanyak yang mereka inginkan. Sedangkan aku harus memakan makanan-makanan tertentu saja. Selalu menjaga mulutku dari makanan yang dapat memperburuk keadaanku.

Sesekali terdengar bunyi ‘klik’ dari seberang jendela di sampingku. Ketika kutoleh, tidak ada siapa-siapa. Ini bukan pertama kalinya kurasakan. Sejak pertengahan kelas sebelas hingga memasuki tahun ajaran baru ini hal tersebut sering kali terjadi. Selain itu, akhir-akhir ini ada beberapa batang coklat berisi surat penuh cinta jatuh di mejaku, dari luar jendela. Kadang ada no name, kadang beberapa nama tercantum berurutan seperti kertas tugas kelompok. Kadang pula dicantumkan sebuah nama, tapi beberapa hurufnya disamarkan dengan diberi bintang. Sungguh, aku bangga dengan sekolah ini yang terus melahirkan anak-anak kreatif di dalamnya. Toh ada nama atau tidak, ujung-ujungnya juga akan kumakan. Sekeping coklat dapat mencegah resiko penyakit jantung. Walaupun sudah terserang duluan, mungkin saja itu akan membawa dampak baik.

Setelah bel sekolah tanda pulang sekolah berbunyi, aku segera mengemasi barang-barangku dan menuju gerbang samping untuk menunggu Fian. Kemudian pulang bersama. Sebenarnya aku malas, tapi ini perintah Bos Besar, Mama. Fian selalu bermain dulu bersama teman-temannya sebelum beranjak ke gerbang untuk pulang. Tak ada yang lebih menyebalkan daripada itu. Seseorang menunggu tepat pada jam dimana matahari sedang dalam keadaan panas yang menyengat. Sementara seseorang yang ditunggu sedang bersenang-senang dan tertawa bersama teman-temannya di dalam kelasnya. Begitu aku akan mengungkapkan kekesalanku kepadanya selama perjalanan, ia selalu menjawab dengan sangat cerdas. Kata-kata yang kudengar balik justru selalu membuatku menjadi seseorang yang berdosa.


- - - - - - - - - -

Seperti biasa, sodara-sodara.
nge - STUCK sampai disini.
Cerita sudah mengalir . . . . . tapi susah bikin konflik
dan males ngetik
-__-

Kamu bisa, kawan ^^

23/08/11
Assalamualaikum !
Aku ngefans banget sama temenku yang satu ini. Suka senyum-senyum sendiri kalo baca blognya. Walaupun dia sudah jarang nge-update sepertinya. Ni anak ngebet banget masuk UI, ya. Aku iri sama semangatnya. Nggak kayak aku yang sedikit-sedikit mewek. Impian ortu beda sama cita-citaku, mewek. Patah semangat. Pengen ngebales ortu dengan nilai jeblok-sejebloknya. Cara apa, tuh? Kuno.
Dia punya cita-cita di jurusan IPS dan dia terus pertahanin itu.

Kepingin seperti dia. Kepingin punya semangatnya yang dengan gampangnya bisa nularin ke orang lain.

Ya Allah, tolong bantu temenku yang satu ini, ya..... bantu wujud-in mimpinya dia jadi lulusan UI dengan gelar "Cumlaude"..... Amiiiiiiin.

Kamu pasti bisa, kawan ! ^^

Start a New Begining

"Pilih aja yang mana yang kamu suka"
"Aku pilih jurusan x ya?"
"Jangan. Itu begini begini begini..."
"Sembarang, deh"
"Oke. Bisnis aja, ya"
"Iya, sudah"

Hanya dengan beberapa kalimat saja sudah meruntuhkan semua harapan yang selama ini kuimpikan. Apanya yang 'aku suka'? Sebenernya aku tahu kalau mereka tidak asal memberikan usul tersebut. Mereka berpikir lebih matang daripada pemikiranku yang sedangkal kolam renang karet (yang di tiup-tiup dulu kalau mau dipakai itu lho). Tapi kenapa aku tetap keras kepala? Aku tetap belum bisa terima. Walaupun kenyataannya aku nggak sanggup nolak perkataan mereka. Nggak sanggup, cuma buat bilang "nggak".
Aku harus ngapain, sekarang? Mempertahankan mimpiku? Atau menuruti kata-kata mereka?

Banyak yang bilang, lebih baik mengikuti apa kata hatimu, karena hidup ini kamu sendiri yang menjalankan. Bukan orang lain. Kalau kamu sudah yakin dengan plihanmu, kamu akan menggapai puncak dengan sendirinya. Walaupun harus melalui lembah gelap yang puanjaang.

Aku pertama selalu berpikir demikian dan terus menyalahkan mereka yang dengan gampangnya membuang sesuatu yang kuimpikan sejak dulu. Merasa bahwa mereka hanya memikirkan gengsi jika dilihat dari luar, tanpa mengerti perasaan si karakter utama. Putus asa. Merasa bahwa, apa gunanya belajar mati-matian di sekolah, kalau ujung-ujungnya hanya untuk mengejar sesuatu yang sama sekali jauh dari impianku? Ini aku. Ini hidupku. Apa mereka berpikir terlalu matang, sampai lupa mengenai perasaanku?

Membenci semua orang pintar di sekolah. Membenci mereka yang berusaha keras dengan nilai-nilai mereka. Menganggap bahwa jika mereka melihatku dari luar, mereka pasti hanya akan menganggapku anak bodoh pemalas yang tidak ingin berusaha. Makanya tidak pernah mendapat nilai yang baik.
Apalagi mendengar kata-kata, "Makanya, BELAJAR". Geli. Mereka tahu apa tentangku? They said that because they had a chance to choose their own path, right? Asal ngomong. Sok pintar. Semua kata-kata kasar berkumpul di benakku. Aku mulai membenci semua yang ada di sekitarku. Aku benci pandangan mereka. Aku lebih membenci diriku sendiri yang tidak bisa mebuat keputusan.


Tapi ketika di rumah, apa yang mereka lakukan? Dukungan. Dukungan dan harapan. Mereka selalu menaruh harapan mereka buatku. Kadang aku merasakannya, tapi kuabaikan. Mereka selalu menceritakan mimi-mimpi mereka. Tapi aku terlanjur tidak mau tahu.

"Trid, coba kalau nanti kamu begini... kuliah disini... terus kerja disini... nanti bisa begini... begini..."
"Trid, nanti kalau kamu kuliah disini, kamu pilih ini... ini... terus lanjut kesini..."

Kata-kata itu yang pertama kali kuanggap sebagai celetukan yang tidak akan pernah terwujud, lama-kelamaan menamparku. Menampar seluruh kebodohan dan keegoisanku. Aku akhirnya sadar bahwa impian mereka lebih besar dari apa yang aku bayangkan selama ini. Aku ini harapan mereka.
Apa salah, mereka memiliki mimpi seperti itu?

Aku ini hidup untuk siapa? Aku hidup demi apa? Apa aku hidup sendiri? Nggak, trid. Bodohnya. Aku hidup bersama orang-orang yang aku cintai. Aku nggak hidup demi diriku sendiri. Aku hidup demi mereka semua. Selama ini aku belum pernah membuat mereka bangga akan kehadiranku. Apa dengan ini aku akan membuat mereka lebih sedih lagi? Apa arti keberadaanku yang sekarang jika tidak dapat membahagiakan mereka nantinya?

Bodoh. Bodohnyaaaa. Kenapa kesadaran ini baru datang sekarang? Setelah semua kesempatanku untuk berjuang sudah hampir habis. Apa aku sudah terlambat? Apa aku tidak bisa mengulang kembali? Harus apa aku sekarang? Menyesal? Itu hanya akan memperburuk keadaanku.

Tidak. Pasti masih sempat. Aku akan berusaha mulai dari sekarang. Ya. Memulai awal yang baru. Allah is watching me. He's here, by my side.

Cara Penyampaiannya Beda

Sering nonton Acara di Metro TV yang judulnya "Tafsir Al-Mishbah" nggak? Itu salah satu acara favoritku. Pembawa acaranya Bapak Quraish Shihab, mantan menteri agama yang juga bapak dari Najwa Shihab. Beliau selalu kritis kalau mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an. Gimana, ya... pokoknya setiap ayat tidak hanya ditafsirkan secara umum, tapi juga secara logika. Beliau bisa memberikan alasan yang masuk akal dari setiap perintah yang tercantum di Al-Qur'an. Berbeda dengan beberapa penceramah yang pada umumnya menekankan suatu perintah Al-Qur'an dengan suara terlalu lantang, yang menurutku malah terkesan memaksa. Itu yang aku suka dari Bapak Quraish Shihab. Apalagi dengan bahasanya yang santai dan nadanya yang bersahabat. Membuat pendengar merasa lebih damai dan terajak untuk ikut mengkaji Al-Qur'an bersamanya.

Waktu itu Pak Quraish Shihab sempet ngebahas masalah berfatwa. Dimana setiap orang yang... apa ya... istilahnya mengungkapkan suatu fatwa yang harus atau haram dilaksanakan harus benar-benar berilmu. Berfatwa itu susah, katanya.

Aku jadi teringat sama seorang guru. Di sekolah, setiap guru wajib membawakan pengarahan mengenai imtaq dan keagamaan setiap Jumat pagi di setiap kelas. Waktu itu kelasku sempat mendapatkan seorang guru yang pembawaannya sedikit berbeda.

Pertama, ia mengeluh kepada beberapa murid yang mengadukannya sebagai guru yang ajarannya sedikit menyimpang. Dan ia menyesalkan hal itu. Saat itu kami sekelas masih belum mengetahui apa-apa tentang beliau. Setelah akhirnya beliau mulai menyampaikan materi, hmm, gimana ya....

Contohnya, ia waktu itu membicarakan tentang memberi salam. Dimana menyampaikan salam merupakan sunnah dan menjawabnya merupakan sebuah kewajiban bagi yang mendengar.
Kemudian ia bercerita tentang memberi salam ketika meninggalkan rumah. Ketika kita masuk dan keluar rumah secara bolak-balik (misalkan ada yang tertinggal, atau apa) dan ketika kita terus memberi salam, kita hanya akan memberi kewajiban bagi orang-orang yang ada di rumah. Iya kalau mereka bisa menjawab, kalau tidak? Kita hanya menambah beban dan dosa bagi mereka.
Kurang lebih seperti itu penyampainnya.

Bagaimana ini? Apa itu berarti kita tidak boleh menebarkan salam? Dan maksudnya tidak bisa menjawab itu apa?
Padahal dari ajaran-ajaran yang telah kita peroleh dan pada umumnya kita ketahui dari Al-Qur'an, bahwa Allah itu Maha mengetahui dan Maha mengerti.

Pertama. Kalau kita mengucapkan salam ketika bolak-balik keluar-masuk rumah, dan orang yang di dalam tidak mendengar atau tidak mengetahui, apa itu tetap menjadi dosa baginya?

Kedua. Kita semua tahu kan, kalau menjawab salam itu termasuk hukum fardhu kifayah? Jika di suatu ruangan terdapat beberapa orang dan salah satunya telah menjawab, itu sudah cukup. Kalaupun di rumah itu hanya ada satu orang, apakah tidak mungkin, di dalam setiap rumah terdapat setidaknya satu makhluk selain manusia (misalnya jin, dsb)? Kalau misalnya mereka menjawabnya, apa itu tidak termasuk hitungan fardhu kifayah?

Ketiga. Kalau pun yang berada di dalam rumah tersebut tidak mampu melafalkannya, apakah tidak boleh, salam itu dijawab di dalam hati? Apa Allah tidak mengetahui itu?

Bukannya aku menyalahkan Bapak tersebut...... tapi........

Serba Nur Nur !!!

Aku baru nyadar... Dari SD, aku ga pernah lepas dari orang-orang yang namanya "Nur". Temen-temen sepermainanku be-nur-nur semua!!! Ini sungguh sebuah tanda tanya besar sodara-sodara!!!



dari SD ya . . .
ini namanya
Majdina Nur Fridiani


di SMP...
aku di kerubungin duo
Nur Layla Putri
sama
Nur Mahmudah





terus yang ini...
si
Ida Nor Santi
yaaah... deket-deket lah...




Pas di SMA...
dikerubungin duo lagi
Nur Afifah sama Nur Aulia



dan yang ini spesial Nur :





yang ini namanya
Paramita Nur Ulfa




sama yang ini namanya
Aulia Dewi Nur Anggraini





ahahahahahaha
:p


Tapi memang sih... Karena si Nur-Nur ini... masa muda ku jadi bercahaya deh :D
Thanks ya, Nur - Nur ! ! !
:* :*

Aku Bisa Apa?

21/08/11

Assalamualaikum !

Nggak kerasa sudah 21 hari puasa. Dan Alhamdulillah di tiap harinya itu bisa berbuka dengan makanan-makanan yang enak-enak. Terimakasih, Ya Allah. Aku bersyukur banget.

Aku merasa beruntung bisa hidup seperti ini. Sangat sangat beruntung, menurutku. Sekali lagi kubahas disini, aku yang nggak pinter, pemalas, jarang ngelatih diri jadi yang lebih baik, suka bikin sebel orang tua dan masih belum bisa membahagiakan mereka dengan prestasiku, kalo sholat kadang-kadang masih nggak khusyu' begini bisa merasakan itu semua. Aku kadang heran, bagaimana aku bisa merasakan semua ini? Segala Puji Bagi Allah...

Di sekitar perumahan masih ada beberapa anak-anak kecil yang hari-harinya masih nyari makan di jalanan. Mereka semua berusaha sendiri untuk menghidupi diri. Seumuran mereka yang seharusnya main sama teman-teman mereka, mau nggak mau sudah harus mikirin, hari ini mereka makan apa nggak.

Aku takut nggak bisa membalas semua ini dengan kemampuan yang aku punya. Kalau teringet hal ini aku cuma bisa bersyukur dalam hati dan waktu sholat. Cuma itu yang bisa aku lakukan. Aku nggak bisa apa-apa.

Aku sering mikir, pantes aja kah aku nerima semua ini? Aku harus ngapain? Selama ini aku cuma numpuk lemak di rumah. Aku nggak bisa berbuat sesuatu yang berguna. Pelajaran juga standar-standar aja. Nggak punya prestasi. Bakat yang kupunya cuma bikin alesan waktu nggak ngerjain tugas.

Nggak seperti teman-temang dan tetangga-tetanggaku yang hidup seperti aku, tapi bisa membalas semua kenikmatan yang mereka rasakan dengan prestasi-prestasi mereka. Aku bener-bener nggak bisa apa-apa. Aku ingin seperti mereka, tapi gimana caranya? Aku sudah berusaha belajar, tapi usahaku seperti nggak ada hasilnya. Masuk smansa aja pake kekuatan cinta dan keberanian (itu belajar berhari-hari nonstop sebelum tes masuknya). Bayangkan bagaimana lemahnya otakku.

Maaf, Ya Allah... aku masih belum bisa menjadi lebih baik.
But I'll surely try my best from now on ! (tapi bantuin aku juga ya, Ya Allah) T_T

My Untitled Story 1

“Kak, kak Dara, kak…” suara si pengganggu tidur sudah mulai terdengar di telingaku yang berusaha kututup dengan bantal berbentuk bola basket pemberian Raiya tahun lalu.
“Lima menit, lima menit, please,” pintaku sambil memekarkan kelima jari tanganku ke arah makhluk yang semenjak beberapa menit yang lalu menarik-narik kedua kakiku keluar dari kasur.

“Kuhitung sampai sepuluh, kalau nggak bangun, aku nggak mau bantuin kakak nyiapin barang-barangnya kakak, lho!” beritahunya masih dengan nada yang menyebalkan. Kali ini dengan ancaman yang cukup mengerikan.

Karena aku terlalu malas untuk mempersiapkan perlengkapan sekolahku sendiri, maka Valeri lah yang harus membantuku menyiapkannya.

“Iya... iya...” jawabku menyerah sambil beranjak ke lemari yang hanya berjarak semeter dari tempat tidurku untuk mengambil atasan dan bawahan dalam. Serta celana hitam ketat selutut yang biasa kupakai sebagai dalaman rok abu-abu.

Sesekali kulirik Valeri yang sudah berseragam putih merah lengkap nan harum sedang melipat selimut dan merapikan kasurku yang kacau. Matanya benar-benar gatal jika melihat sesuatu yang tidak rapi, walau hanya sedikit. Ya, menurutku, keadaan kasur setelah kutiduri itu masih tergolong sedikit tidak rapi. Entah bagaimana pendapat orang lain yang melihatnya. ‘Sedikit’ tidak rapi, atau ‘betul-betul’ tidak rapi.

Ada kalanya dimana seorang remaja putri kelas 2 SMA berkepribadian lebih buruk dibandingkan anak kelas 6 SD. “Ah, di luar sana juga mungkin masih banyak remaja-remaja putri lainnya yang lebih malas daripadaku,” begitulah caraku menyenangkan diri setelah melihat keadaan kamarku yang amit-amit.

Perhatianku tidak sepenuhnya terpacu pada Valeri yang sedang membersihkan tempat tidurku. Aku segera masuk ke kamar mandi dengan pakaian yang tadi kuambil dari lemari dan handuk yang kusangkutkan di leherku.

“Jangan lupa jaketku, Val! Sarung tangan juga,” teriakku dari dalam kamar mandi mengingatkannya.

“Iya...” suaranya terdengar samar-samar dari balik pintu kamar mandi.

Bayangkan saja jika aku sendiri yang turun tangan menyiapkan seluruh perlengkapan sekolah serta seragamku yang semuanya tidak berada di satu tempat. Entah jam berapa adik laki-lakiku itu akan sampai ke sekolahnya.

Pernah ada suatu kejadian dimana aku menyiapkan seluruh perlengkapanku seorang diri tanpa campur tangan Valeri sedikitpun. Karena pagi itu ia habiskan hanya untuk duduk di kamar mandi karena penyakit diarenya. Ketika roda motorku sudah melaju sekitar dua kilometer meninggalkan rumah, aku baru ingat kalau dasi dan baju olahragaku masih tertinggal dirumah. Saat itu juga aku langsung memutar stang dan melaju balik ke rumah untuk mengambilnya. Di perjalanan, Valeri menangis sambil mencaci maki diriku karena sepuluh menit lagi bel sekolahnya akan segera berbunyi. Sementara waktu yang dibutuhkan dari rumah menuju ke sekolahnya sekitar setengah jam. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak sekolah karena takut menghadapi amarah dari guru piketnya dan aku harus menuliskan surat palsu yang menyatakan bahwa Valeri tidak dapat masuk sekolah karena diarenya yang semakin parah. Padahal sepertinya hanya mencret biasa.
“Brrr, dingiiiiin,” keluhku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut pendekku dengan handuk.
Tepat di samping pintu kamar mandi, rok abu-abu, atasan putih, dan dasiku tertata rapi. Lengkap dengan kostum berkendara yang selalu kukenakan setiap pagi. Jaket kulit berwarna putih dan sarung tangan hitam.

Tanpa pikir panjang aku segera memakainya. Tragedi dimana anak kelas 6 SD itu menangis seharian karena tidak berani masuk sekolah saat itu sudah cukup membuatku trauma. Trauma untuk membuatnya terlambat masuk sekolah lagi.

Setelah siap, aku segera mengambil wristband abu-abu di laci meja belajar dan memakainya di pergelangan tangan kiriku. Lalu beranjak ke teras depan untuk memanaskan ninja hitamku. Selagi aku memanaskan motor, Valeri keluar dengan dua helm standar di tangannya. Yang satu berwarna putih dan yang lainnya berwarna hitam. Setelah memakai helm yang berwarna hitam dan melempar yang berwarna putih ke arahku, ia segera mengunci pintu rumah dan menaruh kuncinya di tasnya. Setelah itu ia naik ke motor tanpa basa-basi sebelum akhirnya aku menarik gas.
Tahun ini merupakan tahun kedua kami tinggal berdua di rumah kontrakan yang tidak terlalu kecil itu. Orangtua kami bercerai ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP. Saat itu Valeri masih berusia 9 tahun, tepatnya kelas 3 sekolah dasar. Boleh dikatakan bahwa kami berdua masih belum siap untuk menerima kenyataan bahwa kami tidak dapat tinggal dengan keluarga yang utuh lagi ketika itu.
Ayah memenangkan hak asuh untuk mengambil alih merawat kami karena ketika itu ibu tidak memiliki pekerjaan tetap. Sementara itu ibu yang merupakan warga negara keturunan Australia memutuskan kembali ke tempat nenek di Perth dan memulai hidupnya yang baru di sana.

Setelah tragedi perceraian tersebut aku dan Valeri tinggal bersama ayah untuk sementara waktu sampai akhirnya beliau jatuh cinta kepada atasannya yang merupakan kepala direktur suatu perusahaan industri dimana ayah juga bekerja sebagai salah satu asistennya. Tak lama setelah itu mereka akhirnya jalan bersama dan mengenalkan wanita tersebut kepada kami berdua.

Karena beberapa alasan yang diungkapkan calon ibu tiri kami itu, ayah akhirnya dengan berat hati membuat keputusan yang benar-benar mengubah hidup kami menjadi seperti saat ini. Beliau menjual rumah kami sebelumnya dan mengontrak sebuah rumah yang lumayan luas untuk kami berdua kemudian memberikan seluruh tanggung jawab dan kepadaku, anak tertua.

Mereka berdua memutuskan untuk pindah ke Bandung dan membeli rumah di sana. Walaupun begitu, mereka tetap rutin mengirimkan dana bulanan untuk segala kebutuhan kami. Kadang-kadang disertai permintaan maaf ayah lewat telepon yang selalu kami dengar apabila beliau tidak dapat mengunjungi kami. Valeri selalu menangis setiap kali mendengar suaranya. Sebenarnya sampai saat ini kami masih belum mengetahui alasan pasti mereka memisahkan diri dari kami.

Walaupun ayah termasuk salah satu orang yang membuat keputusan tersebut sehingga kehidupan lebih kami berubah menjadi seperti ini, namun kami masih sangat mencintainya. Kami yakin pasti beliau juga mengalami masa-masa yang lebih sulit dengan membuat keputusan terbaik tersebut. Kami yakin kalau ayah sebenarnya sangat mencintai kami.
Sekitar tujuh meter sebelum sampai ke rumah Raiya, terlihat seorang lelaki berseragam SMA dengan sebuah ransel kulit di punggungnya serta tas kamera bertali panjang menggantung di bahunya. Orang tersebut bersender di depan pagar rumah Raiya sambil mengenakan headset dengan kedua tangan yang masuk ke dalam kantong celananya.
“Kak Erik!” teriak Valeri ketika jarak kami semakin dekat.

Lelaki tersebut menoleh dan tersenyum ke arah kami.

Sesampainya di depan rumah Raiya, si Valeri langsung turun dan masuk ke dalam rumah teman sebangkuku itu untuk mencari makan.

“Aku sudah hampir sejam di sini, nungguin kalian,” protes lelaki bernama Erik tersebut dengan napas yang tidak teratur.

“Hah, hampir sejam? napas masih ngos-ngosan, keringat masih bercucuran,” kataku sengit, sambil memarkir motor dan beranjak masuk ke dalam rumah Raiya.

Erik yang kehabisan kata-kata segera mengelap keringat di kepalanya dengan wristband abu-abu di tangan kanannya yang juga dimiliki olehku Raiya sambil mengikutiku dari belakang. Ia sepertinya berlari dari rumahnya yang berbeda 7 blok dari rumah Raiya.

“Pagiiii Raiyaiyaiyaaa,” sapaku sambil mencubit kedua pipi Raiya yang super kenyal.

“Adeh, deh, deh,” ringisnya dengan wajah yang lucu.

Aku tertawa senang, kemudian duduk di sampingnya yang berpipi merah.

“Pagiiiii Raiyaiyaiyaaa,” Erik meniru gayaku dengan mencubit kedua pipi Raiya juga.

“Aduh! Adududuh!” jeritnya kesakitan sambil menepuk tangan keras Erik.

“Dara yang ngajarin aku!” tuduh Erik sambil menunjuk ke arahku, kemudian duduk di samping Valeri yang sudah menyantap cumi goreng dengan lahap, berhadapan denganku dan Raiya.

Aku menyibukkan diri mengambil nasi goreng dan rendang di depan mataku. Berpura-pura tidak mendengar kata-kata Erik barusan.
Akhir-akhir ini Raiya sering menawarkan kesempatan untuk sarapan bersama di rumahnya. Ayah dan ibunya mulai tidak akur beberapa bulan terakhir. Mereka lebih memilih untuk menyibukkan diri mereka masing-masing daripada meluangkan waktu di rumah dan berkesempatan untuk bertatap muka satu sama lain.
Kali ini Ibunya memutuskan untuk berangkat mengunjungi rumah neneknya yang sedang sakit di luar kota dan berencana menginap beberapa hari di sana. Sementara ayahnya beberapa hari ini melemburkan diri di kantornya dan belum menemukan kesempatan untuk pulang kerumah. Dan sekarang ia terpaksa harus menghabiskan malam sepinya di rumah dengan dua orang pembantu wanita dan seorang supir.
“Dar, turnamen dua bulan lagi kamu ikut, nggak?” tanya Raiya di tengah acara sarapan kami.
“Nggak, lah. Tu anak bentar lagi ujian,” jawabku sambil menunjuk Valeri dengan kepalaku.

“Terus?” tanya Valeri sambil mengunyah.

“Terus? Memangnya kamu berani sendirian di rumah? Nanti kamu malah nggak belajar kalo aku nggak di rumah,” jawabku.

“Oh, gini aja. Ni bule titipin aja di rumahku,” tawar Erik sambil mengacak rambut Valeri.

“Nggak. Nanti bukannya belajar, pikirannya ni anak malah terkontaminasi sama dunia pemotretan, lagi. Terus, ntar seisi rumah banyak poto-poto berhamburan. Huaaa ngeri, ngeri,” jawabku.

“Loh, kan keren,” komen Erik dengan mulut penuh.

“Beneran, nih? Nggak kebayang apa kata Pak Wayan nanti kalau kamu nggak ikut. Padahal kayaknya kamu yang paling jago masuk-masukin bolanya,” kata Raiya.

“Kan ada kak Fani. Kalau masalah jago-nggak jago, dia ranking satu,” terangku.

“Iya, dia doang. Yang lainnya itu nggak bisa apa-apa,” protes Erik.

“Hah, nggak bisa apa-apa? Mantulin bola basket aja masih berantakan, sudah bilangin mereka nggak bisa apa-apa,” ungkapku menyindir Erik.
Raiya menahan tawanya.
“Loh, aku kan cuma komen,” Erik membela diri.

“Iya, sih, Pak Wayan pernah ngancam aku. Kalau aku sering nggak ikut turnamen, mendingan aku keluar aja,” ceritaku.

“Hah? Dia bilang gitu? Terus? Terus?” tanya Raiya penasaran.

“Aku nggak jawab. Nggak terlalu peduli sama turnamen. Aku mah, asal bisa main basket, sudah seneng,” jawabku, “Mungkin sekarang dia sudah punya rencana ngeluarin aku. Akhir-akhir ini cara mainku sudah nggak di kritik sama dia,” lanjutku.

“Kalo nggak dikritik, berarti cara mainmu lagi bagus, dong, Dar,” kata Raiya heran.

“Kalo nggak dikritik, berarti dia lagi merajuk, Re,” jelasku.

“Waduh, dunia basket ini mengerikan juga, ya,” kata Raiya.

“Mau tau yang lebih mengerikan, nggak, Re?” tanyaku sambil mengarahkan wajahku ke Raiya.

“Apa?” tanya Raiya.

Seluruh ekspresi wajahku mengarah ke Erik yang entah sejak kapan ia memegang handycam dan merekam pembicaraan kami. Sesekali memasukkan paha ayam ke dalam mulutnya untuk dikunyah.

“Padahal semenit yang lalu tangannya masih di atas piring. Sekarang sudah ada kameranya. Horor,” heranku.

“Iya, Dar, mistis abis,” kata Raiya. Tetapi tangannya membentuk V pose dan tetap berusaha tidak nampak jelek di depan kamera.

“Yup, ekspresi Raiya sudah bagus. Itu bule yang di sampingnya itu, saya kurang suka mukanya itu,” Komen Erik sambil memperhatikan layar handycamnya.

Erik lalu memindahkan kameranya ke arah Valeri yang sudah selesai makan dan sedang meminum susu putih.

“Eh, ada anak bule. Senyum, senyum,” suruhnya sambil merekam wajah Valeri yang duduk di sampingnya.

Valeri spontan tersenyum ke arah kamera sambil melambaikan tangan ala anak SD dengan gelas susunya. Erik tertawa gemas sambil merekam wajah anak itu.

“Hah! Sudah jam tujuh lewat!” teriak Raiya.

“Hah, beneran?!” teriakku, “Wah, beneran!!” teriakku lagi setelah melihat jam dinding di ruang makan saat itu.

Dengan panik kami berempat segera mengambil tas kami dan bergegas untuk pergi ke sekolah. Sekitar dua puluh menit lagi bel sekolah akan berbunyi. Waktu yang dibutuhkan dari rumah Raiya ke sekolah kami kurang lebih 10 menit.

“Kita duluan, ya! Makasih, Ray, sarapannya!” teriakku sambil melambaikan tangan bersama Valeri.

Aku dan Valeri melaju duluan dengan motor karena aku harus mengantar Valeri ke sekolahnya terlebih dahulu. Sementara Erik seperti biasa menebeng Raiya yang di antar oleh supir pribadinya.
Kegiatan pagi di sekolah berlangsung seperti biasa.
Saat bel jam istirahat kedua berbunyi, guru yang dua jam sebelumnya mengajar di segera meninggalkan kelas. Begitu juga dengan Erik yang tiba-tiba lompat ke bangku depan tempatku dan Raiya duduk dengan handycam yang ia buat merekam tadi pagi.
“Dara, Dara! Coba lihat,” kata Erik sambil menunjukkan layar handycamnya kepadaku.
Aku melihat apa yang ditunjukkan oleh sahabatku itu bersama Raiya. Di situ terlihat wajah Valeri tadi pagi yang di-zoom-in tepat di bagian sekitar matanya oleh Erik.

“Coba lihat! Ini matanya Valeri yang memang biru-biru, atau lensa kameraku yang biru-biru, atau lensa mataku yang biru-biru? Sampai semua yang kulihat jadi kelihatan biru,” tanya Erik dengan kalimat rumit yang aneh.

Daerah sekitar mata kanan Valeri terlihat seperti memar kecil dan agak lebam. Aku kaget ketika menyadarinya. Di rumah memar tersebut tidak terlalu nampak sehingga aku tidak terlalu memperhatikan.

Raiya dan Erik seketika melihatku dengan tatapan menginterogasi.

“Loh, bukan. Bukan aku yang mukul. Aku nggak pernah main tangan,” kataku membela diri.

“Bukan gitu maksudnya, Dar,” kata Raiya menenangkan.

“Mungkin kamu pernah khilaf atau apa waktu lagi marahin si Valeri. Biasanya kalau orang lagi khilaf, setelah itu langsung lupa,” terang Erik.

“Bukan begitu juga,” kata Raiya sambil menginjak kaki Erik yang berada di sampingnya berkali-kali. Takut kata-kata Erik menyinggung perasaanku.

Aku hanya terdiam dan berusaha mengingat waktu-waktu dimana amarahku meledak kepada Valeri. Aku memang tidak mahir dalam mengontrol emosiku sendiri saat moodku sedang tidak bagus. Tapi kalau sampai tahap pemukulan, aku merasa tidak pernah melakukannya sekalipun. Dan jangan sampai hal itu terjadi. Apalagi terhadap adikku sendiri.

“Akhir-akhir ini dia memang agak diam. Kukira hanya efek samping stress karena sebentar lagi Ebtanas,” jelasku.

Aku mulai berikir lebih serius. Bulu kuduk di belakang leherku mulai terangkat. Kekhawatiranku mulai bertambah.

Raiya dan Erik terdiam sejenak. Membantuku berpikir mengenai masalah yang baru muncul ini.

“Temannya?” tebak Raiya.

“Gurunya?” Erik membuntuti perkataan Raiya.

“Hah?!” aku terkejut dengan prediksi terakhir yang dilontarkan Erik.

“Nggak mungkin, lah. Nggak mungkin,” Raiya sekali lagi menginjak-injak kaki Erik. Berusaha tidak membuatku lebih khawatir.

Erik berusaha menahan kesakitan dengan menggembungkan pipinya.

“Oh, iya, aku mau ke ruang band sebentar, ya,” pamit Raiya, “Nyetor rekaman yang kubuat semalem. Doain, ya, supaya diterima,” pintanya sambil berlari mundur ke arah keluar kelas.

Jempolku kuangkat ke arah Raiya yang terlihat semakin menjauh dari kelas.

“Aku juga mau ke markas, nyetor poto,” Erik juga pamit ingin ke markas klub potografi.

Aku hanya mengangguk. Kepalaku belum lepas dari apa yang kupikirkan sebelumnya. Siapa sebenarnya yang membuat wajah adikku menjadi seperti yang kulihat tadi.

“Berani, kan, kutinggal sendirian? Itu ada teman-temannya banyak, tuh. Jangan sedih,” canda Erik sambil mengelus rambut pendekku. Lalu pergi bersama teman-teman klubnya meninggalkan kelas dengan tas kamera yang kali ini menggantung di lehernya.

Aku hanya tersenyum, menghargai usahanya menghibur seseorang yang sedang memulai depresinya.

Setelah semua sahabatku pergi, aku menundukkan kepala. Berusaha menenangkan diri di tengah keramaian kelas. Lagi pula adikku juga seorang laki-laki. Cepat atau lambat ia pasti akan mengenal dunia kekerasan. Ia juga harus siap menghadapinya sebagai seorang laki-laki. Yah, aku tidak perlu terlalu memikirkan masalah ini. Semua akan berlalu begitu saja tanpa sesuatu yang serius.

Aku segera mengangkat kepalaku dengan perasaan yang lebih baik dan segera beranjak dari bangku menuju lapangan. Aku berniat menghibur diri dengan mengajak beberapa teman bermain basket di lapangan.

Tapi setelah itu... Bruk! Suara keras muncul tiba-tiba. Tanpa sengaja aku menabrak Dion, ketua kelas yang saat itu sedang terburu-buru datang dari belakang dengan beberapa berkas di tangannya.

Saat kusadari ia sudah terbaring di bangku sebelah tempatku duduk. Sedang kesakitan memegang lengan kanannya.

“Maaf, maaf, Dion!” kataku sambil mengambil berkas yang berserakan di lantai.
Ia hanya diam. Sepertinya sengaja megacuhkanku. Bisa terbaca dari wajahnya kalau ia sangat kesal padaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi.
“Maaf...” pintaku sambil menyodorkan berkas-berkas yang sepertinya proposal untuk diserakan ke kepala sekolah.

Sekali lagi Dion mengacuhkanku. Ia hanya mengambil berkas di tanganku secara kasar dan berlalu keluar kelas. Aku mencoba menoleh ke arah anak-anak kelas yang saat itu juga mungkin melihatku menabrak Dion. Dengan ekspresi wajah yang mengatakan, “Gimana, nih?” aku menatap mereka. Mereka hanya mengangkat bahu dan beberapa menggelengkan kepala mereka. Tidak tahu juga harus berbuat apa.

Beberapa suara terdengar dari bangku belakang, “Hayuu, Dara! Hayuu, Dara!”. Saat kutoleh ke arah belakang, anak laki-laki yang menghabiskan waktu istirahatnya di kelas bercanda dengan memanas-manasiku yang sedang merasa bersalah kepada Dion. Aku hanya tertawa sambil menunjuk mereka, kemudian meneruskan tujuanku ke lapangan untuk bermain basket.
Di tengah-tengah permainanku dengan anak-anak basket, tanpa sengaja pandanganku jatuh ke arah Dion yang sedang berjalan menyusuri koridor. Setelah kuperhatikan lebih teliti, aku baru sadar ternyata wajah Dion sangat dingin. Menggambarkan kesan galak kepada setiap orang yang melihatnya. Entah ia sedang merasa kesal saat itu atau memang bentuk wajahnya yang demikian adanya sejak dulu.
Tak lama kemudian dua orang perempuan menghampiri Dion dari arah yang berlawanan, kemudian mengajaknya mengobrol dengan penuh canda tawa. Dari gerak-geriknya sepertinya mereka berdua mengajak Dion untuk masuk ke salah satu ekskul. Namun wajah lelaki yang cukup tinggi tersebut nampak lebih suram dari sebelumnya. Ia sama sekali tidak menoleh ke wajah anak-anak tersebut. Hanya matanya yang sesekali melirik ke arah mereka ketika sedang berbicara. Jahat sekali, pikirku.

Jeduk! Sebuah bola karet berat mendarat di pipi kananku hingga kepalaku tertoleh ke arah kiri. Posisiku seketika berubah menjadi setengah jongkok, hampir terjatuh.

“Maaaaaaf, kak Dara!” teriak seorang adik kelas bernama Mita sambil berlari menghampiriku. Beberapa anak yang ketika itu juga sedang bermain ikut menghampiriku.

“Iya, nggak pa-pa,” jawabku sambil tertawa, “aku yang ngelamun, kok,” lanjutku.

“Maaaf kaaaak,” sekali lagi ucapnya penuh penyesalan sambil mengelus pipiku. Mencoba mengurangi rasa nyut-nyutan yang mulai kurasakan karena ulahnya.

“Nggak paaa-paaa,” kataku bercanda sambil menggelitik badannya. Berusaha tidak membuatnya merasa bersalah.

Anak-anak yang tadi mengerubungiku segera melanjutkan permainan mereka. Aku memisahkan diri dan duduk di sebuah bangku di pinggir lapangan. Di bawah pohon rindang yang mengahadap ke koridor dimana Dion berjalan dan mengobrol bersama kedua anak perempuan tadi. Bukan karena aku ngambek setelah terkena bola, melainkan karena tertarik untuk memperhatikan gerak-gerik seseorang yang berwajah jutek yang sekarang sedang duduk di bangku koridor. Walaupun jarak di antara kami terpisah kurang lebih 5 meter oleh lapangan, tapi apapun yang dilakukannya masih dapat termonitor dari posisiku saat ini.

“Kak, nggak main lagi?” teriak salah seorang anak yang bermain di lapangan.

“Nggak, mau ngeringin baju dulu. Bajuku keringat semua, nih,” alasanku sambil memegang seragam putihku. Entah darimana kata-kata itu keluar. Padahal atasan yang sedang kukenakan tidak sebasah ekspresi yang kuungkapkan barusan.

“Nggak marah, kan, kak?” teriak Mita, masih dengan wajah penuh rasa berdosa.

“Ya enggak, lah, Mit. Masa begini aja marah,” kataku sambil tertawa.

Mita tersenyum lega, kemudian melanjutkan permainannya dengan teman-teman. Akupun melanjutkan kegiatanku mengamati seseorang di seberang sana. Wah, kali ini orang tersebut telah mendapatkan teman mengobrol di atas bangku yang sama dengannya. Ekspresinya berubah drastis dari yang kusaksikan sebelumnya. Ia tersenyum dan mengobrol seru dengan dua orang laki-laki tersebut. Ini sedikit membuatku terkagum sesaat. Selama sekelas dengannya, sepertinya baru kali ini aku melihatnya sesenang itu. Mungkin juga itu karena tempat dudukku di kelas yang berada satu deretan di depan bangkunya. Sehingga aku jarang melihatnya di kelas.

“Daraaaa,” sebuah suara memanggilku dari belakang.

Kutolehkan kepalaku melalui sebelah kanan. Sebelum kepalaku sepenuhnya menoleh ke belakang, sebuah minuman kaleng yang dinginnya bukan main tiba-tiba menempel di pipi kananku.

“Ededededeh,” jeritku pelan.

“Bweeek,” Erik menjulurkan lidahnya sambil duduk di sampingku dengan dua buah kaleng sprite yang berada di kedua tangannya. Kemudian memberiku satu.

“Hayooo... ngeliatin Dion, ya?” tuduhnya.

“Heran aku. Ada gitu, ya, cowok yang segitu bencinya sama cewek? Kalo ketemu cewek, sewot. Begitu ketemu sejenisnya, bahagia banget,” paparku sambil membuka sprite yang diberikan Erik, lalu meminumnya.

“Loh, bagus dong,” komennya.

“Kok, bagus? Ngeri, lah. Jangan-jangan...” kataku yang sengaja kuputus di tengah. Masih dengan tatapan ke arah Dion yang sedang bersenda gurau dengan teman-temannya yang sekarang bertambah menjadi empat orang.

“Hop! Nggak boleh gitu. Itu temanku juga, loh,” bela Erik sambil menempelkan kaleng sprite-nya ke pipi kananku lagi.

“Aduduh,” kagetku seketika menarik pipiku dari benda super dingin tersebut.

“Oh iya, ya. Ngomong-ngomong aku juga baru sadar kalau dia nggak pernah ngomong sama cewek,” kata Erik. Sesekali meneguk minuman ditangannya.

“Baaaa,” suara horor Raiya mengagetkan kami dengan kepala yang tiba-tiba muncul di antara kepalaku dengan kepala Erik.

Aku dan Erik yang terkejut langsung menjauh dari kepala mengerikan Raiya dengan rambut panjangnya yang jatuh menutupi setengah wajahnya. Raiya lalu duduk di antara kami dengan melangkahi bangku tersebut dari belakang.

“Gile ni perawan satu. Mau duduk, musti ngangkang dulu. Ekstrim abis,” Kritikku.

“Iya, nih. Es krim abis,” canda Erik dengan nada datar. Sayangnya di antara kami tidak ada yang bersedia menyumbangkan tawa sedikitpun untuknya.

“Aransemenku diterimaaa,” beritahunya kepada kami dengan wajah yang berseri-seri.

“Cieeee.... selamat, yaaa....” sambutku dan Erik secara bersamaan juga dengan aksi yang sama. Menempelkan kaleng dingin yang sedang kami pegang ke kedua pipi tembem Raiya.

Raiya yang kedinginan menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha melepaskan serangan kami dari wajahnya.

“Re, Re. Coba kamu perhatiin tuh anak,” kataku sambil menunjuk ke arah Dion dengan gerakan kepalaku.

“Kenapa? Homo?” tanya Raiya bercanda.

Perutku tiba-tiba geli ketika mendengar pertanyaan Raiya yang terakhir. Erik sekali lagi menempelkan kalengnya ke pipi Raiya. Memberi hukuman karena anak band itu sudah mengolok temannya. Raiya kaget dan mengelus-elus pipinya setelah itu.

“Yeah,” kataku dengan memberi sebuah jempol sambil menertawai Raiya.

“Dia pernah negur aku,” ungkap Raiya pede.

“Hah, beneran?” tanyaku kaget, “gimana ceritanya?” lanjutku penasaran.

“Waktu penyuluhan di auditorium minggu lalu,” beritahu Raiya.

“Apa katanya?” tanya Erik.

“Nggak bisa geser sedikit, kah?” praktek Raiya dengan wajah dinginnya memandang ke arahku. Mencontohkan ekspresi angkuh Dion kepadanya saat itu.

Aku dan Erik tak kuasa menahan tawa.

“Itu bukan negur,” Erik cekikikan sambilmemegang perutnya.

“Sewot, itu. Sewot,” tambahku memperjelas pernyataan Erik. Masih dengan tawa yang berusaha kutahan, tapi tidak bisa.

“Oh, iya. Bu Irma lagi ijin. Jadi pelajaran terakhir kosong, deh,” beritahu Raiya tiba-tiba.

“Beneran? Horeee! Aku mau tidur,” Erik girang sambil berjoget semaunya. Aku mengikuti gerakan aneh Erik merayakan kesenangan kami.

“Tapi kita dikasih tugas kelompok,” kata Raiya sedih.

“Ah nggak pa-pa. Yang penting nggak belajar,” Erik melanjutkan tarian anehnya.

“Tugas apaan?” tanyaku kepada Raiya.

“Maksimal empat orang,” jawab Raiya.

“Tugas apa?” tanyaku lagi.

“Paling lambat dikumpul minggu depan,” jawab Raiya lagi.

“Tugas apa, Raiya?” tanyaku lelah. Suara cekikikan Erik terdengar samar-samar di sebelah Raiya.

“Tugas... melukis... pakai cat minyak,” beritahu Raiya sambil menundukkan kepala.

Wajahku dan Erik seketika menjadi suram. Seperti ketika dihukum seharian di bawah tiang bendera karena tidak mengerjakan PR Biologi. Di antara kami bertiga tidak ada satupun yang ahli dalam bidang melukis. Setahuku laki-laki pada umumnya sangat jago dalam hal menggambar. Tapi lelaki yang satu ini, aaah... Gambaran doraemon yang ia buat saja lebih mirip siluman monyet.
Sejam pelajaran telah berlalu. Aku sibuk membicarakan acara olahraga kemarin malam bersama beberapa anak kelas. Sementara Raiya sibuk dengan headset dan mp3 nya, mempelajari aransemen baru yang harus ia pelajari untuk pertemuan band berikutnya. Kemudian Erik disibukkan dengan dunia mimpinya di bangku belakang.
“Fer, kamu masuk kelompokku, yah?” pinta Mely kepada Feri yang sedang ikut mengobrol bersamaku.

“Kelompok apa, Mel?” tanyaku.

“Kesenian,” jawab Mely singkat, “Mau, yah, Fer? Kamu kan pinter gambar,” rayu Mely agar Feri bersedia masuk kelompoknya. Feri hanya mengangguk dengan wajah pasrah.

Tak lama kemudian anak-anak kelas sibuk mencari teman sekelompok yang berbakat di bidang melukis untuk mengangkat nilai kesenian mereka. Aku pun langsung lompat ke tempat duduk Raiya. Raiya terkejut.

“Re, aku panik, nih! Kita mau ngajak siapa buat gabung ke kelompok kita?” tanyaku gelisah.

“Ah, iya! Aduuuh gimana, nih,” Raiya tertular kegelisahanku.

“Dina, gabung kelompokku, yuk?” tawarku kepada Dian yang berjalan melewati kami berdua.

“Wah, aku sudah ada kelompok,” jawab Dian.

“Yan, yan, Riyan, sekelompok, yuk?” tawar Raiya dengan wajah memelas.

“Aku sekelompok sama Dina,” jawabnya membuat kami sedih.

“Eh, eh, si Dion jago gambar, tau!” bisik beberapa orang dibelakang kami berdua.

Aku menatap Raiya dengan wajah terkejut. Kami baru tahu berita seperti itu tentang Dion. Kami kira ia hanya ketua kelas jutek yang pandai mengatur kegiatan kelas.

“Dion, gabung kelompok kami, yah?” tawar salah satu dari beberapa orang yang membicarakan Dion tadi.

Wajahku dan Raiya seketika menjadi sedih. Peluang terakhir telah melayang. Kini tak ada yang bisa diharapkan lagi dari kelas ini. Semua kuda putih dalam bidang gambar-menggambar telah ter-booking.

“Oh, aku sudah sekelompok sama Erik,” jawab Dion.

Kami kaget. Wuaah perasaan bahagia tak terlukiskan. Akhirnya nilai kimia dalam rapot kami dapat ter-renovasi. Aku dan Raiya melihat ke arah Erik dengan penuh rasa terimakasih, walaupun ia sedang tidur. Kami bangga padamu, Erik. Kami bangga.

Erik bersin.
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi.
. . . . . . . .


- - - - - - - - - - kepalaku macet, sodara-sodara.
ini masih jauuuuh dari konflik utama.
mood tiba-tiba pergi bersama belaian angin.
tapi pasti bakal tak lanjutin sedikit-sedikit.
(~*.*)~ syubidubidu~