“Kak, kak Dara, kak…” suara si pengganggu tidur sudah mulai terdengar di telingaku yang berusaha kututup dengan bantal berbentuk bola basket pemberian Raiya tahun lalu.
“Lima menit, lima menit, please,” pintaku sambil memekarkan kelima jari tanganku ke arah makhluk yang semenjak beberapa menit yang lalu menarik-narik kedua kakiku keluar dari kasur.
“Kuhitung sampai sepuluh, kalau nggak bangun, aku nggak mau bantuin kakak nyiapin barang-barangnya kakak, lho!” beritahunya masih dengan nada yang menyebalkan. Kali ini dengan ancaman yang cukup mengerikan.
Karena aku terlalu malas untuk mempersiapkan perlengkapan sekolahku sendiri, maka Valeri lah yang harus membantuku menyiapkannya.
“Iya... iya...” jawabku menyerah sambil beranjak ke lemari yang hanya berjarak semeter dari tempat tidurku untuk mengambil atasan dan bawahan dalam. Serta celana hitam ketat selutut yang biasa kupakai sebagai dalaman rok abu-abu.
Sesekali kulirik Valeri yang sudah berseragam putih merah lengkap nan harum sedang melipat selimut dan merapikan kasurku yang kacau. Matanya benar-benar gatal jika melihat sesuatu yang tidak rapi, walau hanya sedikit. Ya, menurutku, keadaan kasur setelah kutiduri itu masih tergolong sedikit tidak rapi. Entah bagaimana pendapat orang lain yang melihatnya. ‘Sedikit’ tidak rapi, atau ‘betul-betul’ tidak rapi.
Ada kalanya dimana seorang remaja putri kelas 2 SMA berkepribadian lebih buruk dibandingkan anak kelas 6 SD. “Ah, di luar sana juga mungkin masih banyak remaja-remaja putri lainnya yang lebih malas daripadaku,” begitulah caraku menyenangkan diri setelah melihat keadaan kamarku yang amit-amit.
Perhatianku tidak sepenuhnya terpacu pada Valeri yang sedang membersihkan tempat tidurku. Aku segera masuk ke kamar mandi dengan pakaian yang tadi kuambil dari lemari dan handuk yang kusangkutkan di leherku.
“Jangan lupa jaketku, Val! Sarung tangan juga,” teriakku dari dalam kamar mandi mengingatkannya.
“Iya...” suaranya terdengar samar-samar dari balik pintu kamar mandi.
Bayangkan saja jika aku sendiri yang turun tangan menyiapkan seluruh perlengkapan sekolah serta seragamku yang semuanya tidak berada di satu tempat. Entah jam berapa adik laki-lakiku itu akan sampai ke sekolahnya.
Pernah ada suatu kejadian dimana aku menyiapkan seluruh perlengkapanku seorang diri tanpa campur tangan Valeri sedikitpun. Karena pagi itu ia habiskan hanya untuk duduk di kamar mandi karena penyakit diarenya. Ketika roda motorku sudah melaju sekitar dua kilometer meninggalkan rumah, aku baru ingat kalau dasi dan baju olahragaku masih tertinggal dirumah. Saat itu juga aku langsung memutar stang dan melaju balik ke rumah untuk mengambilnya. Di perjalanan, Valeri menangis sambil mencaci maki diriku karena sepuluh menit lagi bel sekolahnya akan segera berbunyi. Sementara waktu yang dibutuhkan dari rumah menuju ke sekolahnya sekitar setengah jam. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak sekolah karena takut menghadapi amarah dari guru piketnya dan aku harus menuliskan surat palsu yang menyatakan bahwa Valeri tidak dapat masuk sekolah karena diarenya yang semakin parah. Padahal sepertinya hanya mencret biasa.
“Brrr, dingiiiiin,” keluhku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut pendekku dengan handuk.
Tepat di samping pintu kamar mandi, rok abu-abu, atasan putih, dan dasiku tertata rapi. Lengkap dengan kostum berkendara yang selalu kukenakan setiap pagi. Jaket kulit berwarna putih dan sarung tangan hitam.
Tanpa pikir panjang aku segera memakainya. Tragedi dimana anak kelas 6 SD itu menangis seharian karena tidak berani masuk sekolah saat itu sudah cukup membuatku trauma. Trauma untuk membuatnya terlambat masuk sekolah lagi.
Setelah siap, aku segera mengambil wristband abu-abu di laci meja belajar dan memakainya di pergelangan tangan kiriku. Lalu beranjak ke teras depan untuk memanaskan ninja hitamku. Selagi aku memanaskan motor, Valeri keluar dengan dua helm standar di tangannya. Yang satu berwarna putih dan yang lainnya berwarna hitam. Setelah memakai helm yang berwarna hitam dan melempar yang berwarna putih ke arahku, ia segera mengunci pintu rumah dan menaruh kuncinya di tasnya. Setelah itu ia naik ke motor tanpa basa-basi sebelum akhirnya aku menarik gas.
Tahun ini merupakan tahun kedua kami tinggal berdua di rumah kontrakan yang tidak terlalu kecil itu. Orangtua kami bercerai ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP. Saat itu Valeri masih berusia 9 tahun, tepatnya kelas 3 sekolah dasar. Boleh dikatakan bahwa kami berdua masih belum siap untuk menerima kenyataan bahwa kami tidak dapat tinggal dengan keluarga yang utuh lagi ketika itu.
Ayah memenangkan hak asuh untuk mengambil alih merawat kami karena ketika itu ibu tidak memiliki pekerjaan tetap. Sementara itu ibu yang merupakan warga negara keturunan Australia memutuskan kembali ke tempat nenek di Perth dan memulai hidupnya yang baru di sana.
Setelah tragedi perceraian tersebut aku dan Valeri tinggal bersama ayah untuk sementara waktu sampai akhirnya beliau jatuh cinta kepada atasannya yang merupakan kepala direktur suatu perusahaan industri dimana ayah juga bekerja sebagai salah satu asistennya. Tak lama setelah itu mereka akhirnya jalan bersama dan mengenalkan wanita tersebut kepada kami berdua.
Karena beberapa alasan yang diungkapkan calon ibu tiri kami itu, ayah akhirnya dengan berat hati membuat keputusan yang benar-benar mengubah hidup kami menjadi seperti saat ini. Beliau menjual rumah kami sebelumnya dan mengontrak sebuah rumah yang lumayan luas untuk kami berdua kemudian memberikan seluruh tanggung jawab dan kepadaku, anak tertua.
Mereka berdua memutuskan untuk pindah ke Bandung dan membeli rumah di sana. Walaupun begitu, mereka tetap rutin mengirimkan dana bulanan untuk segala kebutuhan kami. Kadang-kadang disertai permintaan maaf ayah lewat telepon yang selalu kami dengar apabila beliau tidak dapat mengunjungi kami. Valeri selalu menangis setiap kali mendengar suaranya. Sebenarnya sampai saat ini kami masih belum mengetahui alasan pasti mereka memisahkan diri dari kami.
Walaupun ayah termasuk salah satu orang yang membuat keputusan tersebut sehingga kehidupan lebih kami berubah menjadi seperti ini, namun kami masih sangat mencintainya. Kami yakin pasti beliau juga mengalami masa-masa yang lebih sulit dengan membuat keputusan terbaik tersebut. Kami yakin kalau ayah sebenarnya sangat mencintai kami.
Sekitar tujuh meter sebelum sampai ke rumah Raiya, terlihat seorang lelaki berseragam SMA dengan sebuah ransel kulit di punggungnya serta tas kamera bertali panjang menggantung di bahunya. Orang tersebut bersender di depan pagar rumah Raiya sambil mengenakan headset dengan kedua tangan yang masuk ke dalam kantong celananya.
“Kak Erik!” teriak Valeri ketika jarak kami semakin dekat.
Lelaki tersebut menoleh dan tersenyum ke arah kami.
Sesampainya di depan rumah Raiya, si Valeri langsung turun dan masuk ke dalam rumah teman sebangkuku itu untuk mencari makan.
“Aku sudah hampir sejam di sini, nungguin kalian,” protes lelaki bernama Erik tersebut dengan napas yang tidak teratur.
“Hah, hampir sejam? napas masih ngos-ngosan, keringat masih bercucuran,” kataku sengit, sambil memarkir motor dan beranjak masuk ke dalam rumah Raiya.
Erik yang kehabisan kata-kata segera mengelap keringat di kepalanya dengan wristband abu-abu di tangan kanannya yang juga dimiliki olehku Raiya sambil mengikutiku dari belakang. Ia sepertinya berlari dari rumahnya yang berbeda 7 blok dari rumah Raiya.
“Pagiiii Raiyaiyaiyaaa,” sapaku sambil mencubit kedua pipi Raiya yang super kenyal.
“Adeh, deh, deh,” ringisnya dengan wajah yang lucu.
Aku tertawa senang, kemudian duduk di sampingnya yang berpipi merah.
“Pagiiiii Raiyaiyaiyaaa,” Erik meniru gayaku dengan mencubit kedua pipi Raiya juga.
“Aduh! Adududuh!” jeritnya kesakitan sambil menepuk tangan keras Erik.
“Dara yang ngajarin aku!” tuduh Erik sambil menunjuk ke arahku, kemudian duduk di samping Valeri yang sudah menyantap cumi goreng dengan lahap, berhadapan denganku dan Raiya.
Aku menyibukkan diri mengambil nasi goreng dan rendang di depan mataku. Berpura-pura tidak mendengar kata-kata Erik barusan.
Akhir-akhir ini Raiya sering menawarkan kesempatan untuk sarapan bersama di rumahnya. Ayah dan ibunya mulai tidak akur beberapa bulan terakhir. Mereka lebih memilih untuk menyibukkan diri mereka masing-masing daripada meluangkan waktu di rumah dan berkesempatan untuk bertatap muka satu sama lain.
Kali ini Ibunya memutuskan untuk berangkat mengunjungi rumah neneknya yang sedang sakit di luar kota dan berencana menginap beberapa hari di sana. Sementara ayahnya beberapa hari ini melemburkan diri di kantornya dan belum menemukan kesempatan untuk pulang kerumah. Dan sekarang ia terpaksa harus menghabiskan malam sepinya di rumah dengan dua orang pembantu wanita dan seorang supir.
“Dar, turnamen dua bulan lagi kamu ikut, nggak?” tanya Raiya di tengah acara sarapan kami.
“Nggak, lah. Tu anak bentar lagi ujian,” jawabku sambil menunjuk Valeri dengan kepalaku.
“Terus?” tanya Valeri sambil mengunyah.
“Terus? Memangnya kamu berani sendirian di rumah? Nanti kamu malah nggak belajar kalo aku nggak di rumah,” jawabku.
“Oh, gini aja. Ni bule titipin aja di rumahku,” tawar Erik sambil mengacak rambut Valeri.
“Nggak. Nanti bukannya belajar, pikirannya ni anak malah terkontaminasi sama dunia pemotretan, lagi. Terus, ntar seisi rumah banyak poto-poto berhamburan. Huaaa ngeri, ngeri,” jawabku.
“Loh, kan keren,” komen Erik dengan mulut penuh.
“Beneran, nih? Nggak kebayang apa kata Pak Wayan nanti kalau kamu nggak ikut. Padahal kayaknya kamu yang paling jago masuk-masukin bolanya,” kata Raiya.
“Kan ada kak Fani. Kalau masalah jago-nggak jago, dia ranking satu,” terangku.
“Iya, dia doang. Yang lainnya itu nggak bisa apa-apa,” protes Erik.
“Hah, nggak bisa apa-apa? Mantulin bola basket aja masih berantakan, sudah bilangin mereka nggak bisa apa-apa,” ungkapku menyindir Erik.
Raiya menahan tawanya.
“Loh, aku kan cuma komen,” Erik membela diri.
“Iya, sih, Pak Wayan pernah ngancam aku. Kalau aku sering nggak ikut turnamen, mendingan aku keluar aja,” ceritaku.
“Hah? Dia bilang gitu? Terus? Terus?” tanya Raiya penasaran.
“Aku nggak jawab. Nggak terlalu peduli sama turnamen. Aku mah, asal bisa main basket, sudah seneng,” jawabku, “Mungkin sekarang dia sudah punya rencana ngeluarin aku. Akhir-akhir ini cara mainku sudah nggak di kritik sama dia,” lanjutku.
“Kalo nggak dikritik, berarti cara mainmu lagi bagus, dong, Dar,” kata Raiya heran.
“Kalo nggak dikritik, berarti dia lagi merajuk, Re,” jelasku.
“Waduh, dunia basket ini mengerikan juga, ya,” kata Raiya.
“Mau tau yang lebih mengerikan, nggak, Re?” tanyaku sambil mengarahkan wajahku ke Raiya.
“Apa?” tanya Raiya.
Seluruh ekspresi wajahku mengarah ke Erik yang entah sejak kapan ia memegang handycam dan merekam pembicaraan kami. Sesekali memasukkan paha ayam ke dalam mulutnya untuk dikunyah.
“Padahal semenit yang lalu tangannya masih di atas piring. Sekarang sudah ada kameranya. Horor,” heranku.
“Iya, Dar, mistis abis,” kata Raiya. Tetapi tangannya membentuk V pose dan tetap berusaha tidak nampak jelek di depan kamera.
“Yup, ekspresi Raiya sudah bagus. Itu bule yang di sampingnya itu, saya kurang suka mukanya itu,” Komen Erik sambil memperhatikan layar handycamnya.
Erik lalu memindahkan kameranya ke arah Valeri yang sudah selesai makan dan sedang meminum susu putih.
“Eh, ada anak bule. Senyum, senyum,” suruhnya sambil merekam wajah Valeri yang duduk di sampingnya.
Valeri spontan tersenyum ke arah kamera sambil melambaikan tangan ala anak SD dengan gelas susunya. Erik tertawa gemas sambil merekam wajah anak itu.
“Hah! Sudah jam tujuh lewat!” teriak Raiya.
“Hah, beneran?!” teriakku, “Wah, beneran!!” teriakku lagi setelah melihat jam dinding di ruang makan saat itu.
Dengan panik kami berempat segera mengambil tas kami dan bergegas untuk pergi ke sekolah. Sekitar dua puluh menit lagi bel sekolah akan berbunyi. Waktu yang dibutuhkan dari rumah Raiya ke sekolah kami kurang lebih 10 menit.
“Kita duluan, ya! Makasih, Ray, sarapannya!” teriakku sambil melambaikan tangan bersama Valeri.
Aku dan Valeri melaju duluan dengan motor karena aku harus mengantar Valeri ke sekolahnya terlebih dahulu. Sementara Erik seperti biasa menebeng Raiya yang di antar oleh supir pribadinya.
Kegiatan pagi di sekolah berlangsung seperti biasa.
Saat bel jam istirahat kedua berbunyi, guru yang dua jam sebelumnya mengajar di segera meninggalkan kelas. Begitu juga dengan Erik yang tiba-tiba lompat ke bangku depan tempatku dan Raiya duduk dengan handycam yang ia buat merekam tadi pagi.
“Dara, Dara! Coba lihat,” kata Erik sambil menunjukkan layar handycamnya kepadaku.
Aku melihat apa yang ditunjukkan oleh sahabatku itu bersama Raiya. Di situ terlihat wajah Valeri tadi pagi yang di-zoom-in tepat di bagian sekitar matanya oleh Erik.
“Coba lihat! Ini matanya Valeri yang memang biru-biru, atau lensa kameraku yang biru-biru, atau lensa mataku yang biru-biru? Sampai semua yang kulihat jadi kelihatan biru,” tanya Erik dengan kalimat rumit yang aneh.
Daerah sekitar mata kanan Valeri terlihat seperti memar kecil dan agak lebam. Aku kaget ketika menyadarinya. Di rumah memar tersebut tidak terlalu nampak sehingga aku tidak terlalu memperhatikan.
Raiya dan Erik seketika melihatku dengan tatapan menginterogasi.
“Loh, bukan. Bukan aku yang mukul. Aku nggak pernah main tangan,” kataku membela diri.
“Bukan gitu maksudnya, Dar,” kata Raiya menenangkan.
“Mungkin kamu pernah khilaf atau apa waktu lagi marahin si Valeri. Biasanya kalau orang lagi khilaf, setelah itu langsung lupa,” terang Erik.
“Bukan begitu juga,” kata Raiya sambil menginjak kaki Erik yang berada di sampingnya berkali-kali. Takut kata-kata Erik menyinggung perasaanku.
Aku hanya terdiam dan berusaha mengingat waktu-waktu dimana amarahku meledak kepada Valeri. Aku memang tidak mahir dalam mengontrol emosiku sendiri saat moodku sedang tidak bagus. Tapi kalau sampai tahap pemukulan, aku merasa tidak pernah melakukannya sekalipun. Dan jangan sampai hal itu terjadi. Apalagi terhadap adikku sendiri.
“Akhir-akhir ini dia memang agak diam. Kukira hanya efek samping stress karena sebentar lagi Ebtanas,” jelasku.
Aku mulai berikir lebih serius. Bulu kuduk di belakang leherku mulai terangkat. Kekhawatiranku mulai bertambah.
Raiya dan Erik terdiam sejenak. Membantuku berpikir mengenai masalah yang baru muncul ini.
“Temannya?” tebak Raiya.
“Gurunya?” Erik membuntuti perkataan Raiya.
“Hah?!” aku terkejut dengan prediksi terakhir yang dilontarkan Erik.
“Nggak mungkin, lah. Nggak mungkin,” Raiya sekali lagi menginjak-injak kaki Erik. Berusaha tidak membuatku lebih khawatir.
Erik berusaha menahan kesakitan dengan menggembungkan pipinya.
“Oh, iya, aku mau ke ruang band sebentar, ya,” pamit Raiya, “Nyetor rekaman yang kubuat semalem. Doain, ya, supaya diterima,” pintanya sambil berlari mundur ke arah keluar kelas.
Jempolku kuangkat ke arah Raiya yang terlihat semakin menjauh dari kelas.
“Aku juga mau ke markas, nyetor poto,” Erik juga pamit ingin ke markas klub potografi.
Aku hanya mengangguk. Kepalaku belum lepas dari apa yang kupikirkan sebelumnya. Siapa sebenarnya yang membuat wajah adikku menjadi seperti yang kulihat tadi.
“Berani, kan, kutinggal sendirian? Itu ada teman-temannya banyak, tuh. Jangan sedih,” canda Erik sambil mengelus rambut pendekku. Lalu pergi bersama teman-teman klubnya meninggalkan kelas dengan tas kamera yang kali ini menggantung di lehernya.
Aku hanya tersenyum, menghargai usahanya menghibur seseorang yang sedang memulai depresinya.
Setelah semua sahabatku pergi, aku menundukkan kepala. Berusaha menenangkan diri di tengah keramaian kelas. Lagi pula adikku juga seorang laki-laki. Cepat atau lambat ia pasti akan mengenal dunia kekerasan. Ia juga harus siap menghadapinya sebagai seorang laki-laki. Yah, aku tidak perlu terlalu memikirkan masalah ini. Semua akan berlalu begitu saja tanpa sesuatu yang serius.
Aku segera mengangkat kepalaku dengan perasaan yang lebih baik dan segera beranjak dari bangku menuju lapangan. Aku berniat menghibur diri dengan mengajak beberapa teman bermain basket di lapangan.
Tapi setelah itu... Bruk! Suara keras muncul tiba-tiba. Tanpa sengaja aku menabrak Dion, ketua kelas yang saat itu sedang terburu-buru datang dari belakang dengan beberapa berkas di tangannya.
Saat kusadari ia sudah terbaring di bangku sebelah tempatku duduk. Sedang kesakitan memegang lengan kanannya.
“Maaf, maaf, Dion!” kataku sambil mengambil berkas yang berserakan di lantai.
Ia hanya diam. Sepertinya sengaja megacuhkanku. Bisa terbaca dari wajahnya kalau ia sangat kesal padaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi.
“Maaf...” pintaku sambil menyodorkan berkas-berkas yang sepertinya proposal untuk diserakan ke kepala sekolah.
Sekali lagi Dion mengacuhkanku. Ia hanya mengambil berkas di tanganku secara kasar dan berlalu keluar kelas. Aku mencoba menoleh ke arah anak-anak kelas yang saat itu juga mungkin melihatku menabrak Dion. Dengan ekspresi wajah yang mengatakan, “Gimana, nih?” aku menatap mereka. Mereka hanya mengangkat bahu dan beberapa menggelengkan kepala mereka. Tidak tahu juga harus berbuat apa.
Beberapa suara terdengar dari bangku belakang, “Hayuu, Dara! Hayuu, Dara!”. Saat kutoleh ke arah belakang, anak laki-laki yang menghabiskan waktu istirahatnya di kelas bercanda dengan memanas-manasiku yang sedang merasa bersalah kepada Dion. Aku hanya tertawa sambil menunjuk mereka, kemudian meneruskan tujuanku ke lapangan untuk bermain basket.
Di tengah-tengah permainanku dengan anak-anak basket, tanpa sengaja pandanganku jatuh ke arah Dion yang sedang berjalan menyusuri koridor. Setelah kuperhatikan lebih teliti, aku baru sadar ternyata wajah Dion sangat dingin. Menggambarkan kesan galak kepada setiap orang yang melihatnya. Entah ia sedang merasa kesal saat itu atau memang bentuk wajahnya yang demikian adanya sejak dulu.
Tak lama kemudian dua orang perempuan menghampiri Dion dari arah yang berlawanan, kemudian mengajaknya mengobrol dengan penuh canda tawa. Dari gerak-geriknya sepertinya mereka berdua mengajak Dion untuk masuk ke salah satu ekskul. Namun wajah lelaki yang cukup tinggi tersebut nampak lebih suram dari sebelumnya. Ia sama sekali tidak menoleh ke wajah anak-anak tersebut. Hanya matanya yang sesekali melirik ke arah mereka ketika sedang berbicara. Jahat sekali, pikirku.
Jeduk! Sebuah bola karet berat mendarat di pipi kananku hingga kepalaku tertoleh ke arah kiri. Posisiku seketika berubah menjadi setengah jongkok, hampir terjatuh.
“Maaaaaaf, kak Dara!” teriak seorang adik kelas bernama Mita sambil berlari menghampiriku. Beberapa anak yang ketika itu juga sedang bermain ikut menghampiriku.
“Iya, nggak pa-pa,” jawabku sambil tertawa, “aku yang ngelamun, kok,” lanjutku.
“Maaaf kaaaak,” sekali lagi ucapnya penuh penyesalan sambil mengelus pipiku. Mencoba mengurangi rasa nyut-nyutan yang mulai kurasakan karena ulahnya.
“Nggak paaa-paaa,” kataku bercanda sambil menggelitik badannya. Berusaha tidak membuatnya merasa bersalah.
Anak-anak yang tadi mengerubungiku segera melanjutkan permainan mereka. Aku memisahkan diri dan duduk di sebuah bangku di pinggir lapangan. Di bawah pohon rindang yang mengahadap ke koridor dimana Dion berjalan dan mengobrol bersama kedua anak perempuan tadi. Bukan karena aku ngambek setelah terkena bola, melainkan karena tertarik untuk memperhatikan gerak-gerik seseorang yang berwajah jutek yang sekarang sedang duduk di bangku koridor. Walaupun jarak di antara kami terpisah kurang lebih 5 meter oleh lapangan, tapi apapun yang dilakukannya masih dapat termonitor dari posisiku saat ini.
“Kak, nggak main lagi?” teriak salah seorang anak yang bermain di lapangan.
“Nggak, mau ngeringin baju dulu. Bajuku keringat semua, nih,” alasanku sambil memegang seragam putihku. Entah darimana kata-kata itu keluar. Padahal atasan yang sedang kukenakan tidak sebasah ekspresi yang kuungkapkan barusan.
“Nggak marah, kan, kak?” teriak Mita, masih dengan wajah penuh rasa berdosa.
“Ya enggak, lah, Mit. Masa begini aja marah,” kataku sambil tertawa.
Mita tersenyum lega, kemudian melanjutkan permainannya dengan teman-teman. Akupun melanjutkan kegiatanku mengamati seseorang di seberang sana. Wah, kali ini orang tersebut telah mendapatkan teman mengobrol di atas bangku yang sama dengannya. Ekspresinya berubah drastis dari yang kusaksikan sebelumnya. Ia tersenyum dan mengobrol seru dengan dua orang laki-laki tersebut. Ini sedikit membuatku terkagum sesaat. Selama sekelas dengannya, sepertinya baru kali ini aku melihatnya sesenang itu. Mungkin juga itu karena tempat dudukku di kelas yang berada satu deretan di depan bangkunya. Sehingga aku jarang melihatnya di kelas.
“Daraaaa,” sebuah suara memanggilku dari belakang.
Kutolehkan kepalaku melalui sebelah kanan. Sebelum kepalaku sepenuhnya menoleh ke belakang, sebuah minuman kaleng yang dinginnya bukan main tiba-tiba menempel di pipi kananku.
“Ededededeh,” jeritku pelan.
“Bweeek,” Erik menjulurkan lidahnya sambil duduk di sampingku dengan dua buah kaleng sprite yang berada di kedua tangannya. Kemudian memberiku satu.
“Hayooo... ngeliatin Dion, ya?” tuduhnya.
“Heran aku. Ada gitu, ya, cowok yang segitu bencinya sama cewek? Kalo ketemu cewek, sewot. Begitu ketemu sejenisnya, bahagia banget,” paparku sambil membuka sprite yang diberikan Erik, lalu meminumnya.
“Loh, bagus dong,” komennya.
“Kok, bagus? Ngeri, lah. Jangan-jangan...” kataku yang sengaja kuputus di tengah. Masih dengan tatapan ke arah Dion yang sedang bersenda gurau dengan teman-temannya yang sekarang bertambah menjadi empat orang.
“Hop! Nggak boleh gitu. Itu temanku juga, loh,” bela Erik sambil menempelkan kaleng sprite-nya ke pipi kananku lagi.
“Aduduh,” kagetku seketika menarik pipiku dari benda super dingin tersebut.
“Oh iya, ya. Ngomong-ngomong aku juga baru sadar kalau dia nggak pernah ngomong sama cewek,” kata Erik. Sesekali meneguk minuman ditangannya.
“Baaaa,” suara horor Raiya mengagetkan kami dengan kepala yang tiba-tiba muncul di antara kepalaku dengan kepala Erik.
Aku dan Erik yang terkejut langsung menjauh dari kepala mengerikan Raiya dengan rambut panjangnya yang jatuh menutupi setengah wajahnya. Raiya lalu duduk di antara kami dengan melangkahi bangku tersebut dari belakang.
“Gile ni perawan satu. Mau duduk, musti ngangkang dulu. Ekstrim abis,” Kritikku.
“Iya, nih. Es krim abis,” canda Erik dengan nada datar. Sayangnya di antara kami tidak ada yang bersedia menyumbangkan tawa sedikitpun untuknya.
“Aransemenku diterimaaa,” beritahunya kepada kami dengan wajah yang berseri-seri.
“Cieeee.... selamat, yaaa....” sambutku dan Erik secara bersamaan juga dengan aksi yang sama. Menempelkan kaleng dingin yang sedang kami pegang ke kedua pipi tembem Raiya.
Raiya yang kedinginan menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha melepaskan serangan kami dari wajahnya.
“Re, Re. Coba kamu perhatiin tuh anak,” kataku sambil menunjuk ke arah Dion dengan gerakan kepalaku.
“Kenapa? Homo?” tanya Raiya bercanda.
Perutku tiba-tiba geli ketika mendengar pertanyaan Raiya yang terakhir. Erik sekali lagi menempelkan kalengnya ke pipi Raiya. Memberi hukuman karena anak band itu sudah mengolok temannya. Raiya kaget dan mengelus-elus pipinya setelah itu.
“Yeah,” kataku dengan memberi sebuah jempol sambil menertawai Raiya.
“Dia pernah negur aku,” ungkap Raiya pede.
“Hah, beneran?” tanyaku kaget, “gimana ceritanya?” lanjutku penasaran.
“Waktu penyuluhan di auditorium minggu lalu,” beritahu Raiya.
“Apa katanya?” tanya Erik.
“Nggak bisa geser sedikit, kah?” praktek Raiya dengan wajah dinginnya memandang ke arahku. Mencontohkan ekspresi angkuh Dion kepadanya saat itu.
Aku dan Erik tak kuasa menahan tawa.
“Itu bukan negur,” Erik cekikikan sambilmemegang perutnya.
“Sewot, itu. Sewot,” tambahku memperjelas pernyataan Erik. Masih dengan tawa yang berusaha kutahan, tapi tidak bisa.
“Oh, iya. Bu Irma lagi ijin. Jadi pelajaran terakhir kosong, deh,” beritahu Raiya tiba-tiba.
“Beneran? Horeee! Aku mau tidur,” Erik girang sambil berjoget semaunya. Aku mengikuti gerakan aneh Erik merayakan kesenangan kami.
“Tapi kita dikasih tugas kelompok,” kata Raiya sedih.
“Ah nggak pa-pa. Yang penting nggak belajar,” Erik melanjutkan tarian anehnya.
“Tugas apaan?” tanyaku kepada Raiya.
“Maksimal empat orang,” jawab Raiya.
“Tugas apa?” tanyaku lagi.
“Paling lambat dikumpul minggu depan,” jawab Raiya lagi.
“Tugas apa, Raiya?” tanyaku lelah. Suara cekikikan Erik terdengar samar-samar di sebelah Raiya.
“Tugas... melukis... pakai cat minyak,” beritahu Raiya sambil menundukkan kepala.
Wajahku dan Erik seketika menjadi suram. Seperti ketika dihukum seharian di bawah tiang bendera karena tidak mengerjakan PR Biologi. Di antara kami bertiga tidak ada satupun yang ahli dalam bidang melukis. Setahuku laki-laki pada umumnya sangat jago dalam hal menggambar. Tapi lelaki yang satu ini, aaah... Gambaran doraemon yang ia buat saja lebih mirip siluman monyet.
Sejam pelajaran telah berlalu. Aku sibuk membicarakan acara olahraga kemarin malam bersama beberapa anak kelas. Sementara Raiya sibuk dengan headset dan mp3 nya, mempelajari aransemen baru yang harus ia pelajari untuk pertemuan band berikutnya. Kemudian Erik disibukkan dengan dunia mimpinya di bangku belakang.
“Fer, kamu masuk kelompokku, yah?” pinta Mely kepada Feri yang sedang ikut mengobrol bersamaku.
“Kelompok apa, Mel?” tanyaku.
“Kesenian,” jawab Mely singkat, “Mau, yah, Fer? Kamu kan pinter gambar,” rayu Mely agar Feri bersedia masuk kelompoknya. Feri hanya mengangguk dengan wajah pasrah.
Tak lama kemudian anak-anak kelas sibuk mencari teman sekelompok yang berbakat di bidang melukis untuk mengangkat nilai kesenian mereka. Aku pun langsung lompat ke tempat duduk Raiya. Raiya terkejut.
“Re, aku panik, nih! Kita mau ngajak siapa buat gabung ke kelompok kita?” tanyaku gelisah.
“Ah, iya! Aduuuh gimana, nih,” Raiya tertular kegelisahanku.
“Dina, gabung kelompokku, yuk?” tawarku kepada Dian yang berjalan melewati kami berdua.
“Wah, aku sudah ada kelompok,” jawab Dian.
“Yan, yan, Riyan, sekelompok, yuk?” tawar Raiya dengan wajah memelas.
“Aku sekelompok sama Dina,” jawabnya membuat kami sedih.
“Eh, eh, si Dion jago gambar, tau!” bisik beberapa orang dibelakang kami berdua.
Aku menatap Raiya dengan wajah terkejut. Kami baru tahu berita seperti itu tentang Dion. Kami kira ia hanya ketua kelas jutek yang pandai mengatur kegiatan kelas.
“Dion, gabung kelompok kami, yah?” tawar salah satu dari beberapa orang yang membicarakan Dion tadi.
Wajahku dan Raiya seketika menjadi sedih. Peluang terakhir telah melayang. Kini tak ada yang bisa diharapkan lagi dari kelas ini. Semua kuda putih dalam bidang gambar-menggambar telah ter-booking.
“Oh, aku sudah sekelompok sama Erik,” jawab Dion.
Kami kaget. Wuaah perasaan bahagia tak terlukiskan. Akhirnya nilai kimia dalam rapot kami dapat ter-renovasi. Aku dan Raiya melihat ke arah Erik dengan penuh rasa terimakasih, walaupun ia sedang tidur. Kami bangga padamu, Erik. Kami bangga.
Erik bersin.
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi.
. . . . . . . .
- - - - - - - - - -
kepalaku macet, sodara-sodara.
ini masih jauuuuh dari konflik utama.
mood tiba-tiba pergi bersama belaian angin.
tapi pasti bakal tak lanjutin sedikit-sedikit.
(~*.*)~ syubidubidu~