Pages

Supir angkot nyebelin

19/09/11

Assalamualaykum.

Barusan pulang dari konsul di PG sama Mbak Eli, bareng si Pamit. Waktu perjalanan pulang, di lampu merah, pertigaan perumnas, kebetulan motorku berhenti di sebelah kiri sebuah angkot. Di dalam angkot tersebut ada sepasang suami istri yang duduk di kursi depan. Yaaa, sepertinya sih, suami istri. Ibunya itu berjilbab panjang. Sepertinya memakai gamis. Sepertinya, lho ya... Sedangkan supirnya, yang sepertinya suaminya itu, rambutnya agak gimbal, kancing baju yang bagian atas kebuka beberapa, gondrong, dan... merokok.
Karena waktu aku datang, lampunya baru pindah dari kuning ke merah, jadi aku sempat curi-curi pandang memperhatikan ibu tadi. Mukanya baik... apa, ya. Teduh... gimanaaa gitu. Nyaman aja ngelihatnya. Karena cuma sebelahan, jadi percakapan mereka juga lumayan terdengar (alias nguping).
Mereka ngomongnya medhok jawa, jadi aku masih agak mudeng dengernya. Ibu tadi ngomongnya pelan, dan sepertinya hati-hati. Sepertinya takut sama suaminya itu, deh. Soalnya suaminya itu logatnya jawa kasar. Nadanya pun kasar. Misalnya, ya... Ini pembicaraan mereka seingatku...

Si Ibu :
"Yo mbok rausah diladeni wong koyok ngono"
("Ya nggak usah diladenin orang kayak gitu")


Si Bapak :
"Halah, rausah, rausah. Kon iku ngerti opo"
 ("Halah, nggak usah, nggak usah. Kamu itu ngerti apa")


Si Ibu : 
"Yowes, ngkok awakku wae sing ngomongno ke de'e"
("Ya sudah, nanti aku aja yang ngomong ke dia")


Si Bapak : 
"Wis, tha. Kon iku nek ra ngerti opo-opo wis menengo wae"
("Sudah, lah. Kamu itu kalo nggak ngerti apa-apa, ya sudah. Diam aja")


Bapak itu ngomong dengan nada kasar dan ngebentak, sakit banget buat didengar. Lalu si ibu diam, ngalah. Antara mengalah dan takut sama si Suaminya itu. Menurutku ibu itu sudah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan cukup baik. Tidak menentang perkataannya, tidak mengeraskan suara kepadanya. Dan menjaga diri dengan menutup auratnya.
Seketika yang terlintas di kepalaku...

Si bapak tega banget.

Dia punya istri buat dicintai. Buat membahagiakan hidupnya. Agar ada seseorang yang selalu di sisinya. Istrinya rela menyandang predikat sebagai seorang istri dari seorang pekerja sepertinya. Istrinya tanpa beban menutup auratnya. Tapi si bapak malah begitu. Membentak, merokok pula.

Ya memang, sih. Banyak orang yang masih dengan gampangnya menyepelekan perasaan seorang wanita. Seorang wanita yang sabar, lemah lembut, selalu tersenyum, sering kali dianggap kalau mereka takut. Seenaknya tidak menghargai perasaan mereka. Apa aku salah? Sebagian dari semua wanita pasti pernah merasakannya, kan? Kadang ketika ngobrol, orang sering membentak, nyolot, ngatain, sengaja nyindir, dll. Karena mereka sudah yakin kalau mereka nggak akan mendapat balasan dari orang tersebut. Para cowok pun nggak sedikit yang ngomong ke cewek dengan suara yang nggak santai.

Yah... dangkal banget. Pikiran mereka.

Mereka pikir hati mereka kayak plastisin kali, ya? Diapa-apain aja nggak bakal rusak, malah bisa balik lagi seperti semula. Karena mungkin sebagian dari mereka tidak tahu dan tidak ingin tahu cara menghargai orang itu seperti apa. Nabi Muhammad pun mungkin hatinya tidak seperti plastisin. Beliau juga manusia. Pasti hatinya sangat sakit menerima perlakuan para kaum-kaum di sekitarnya saat itu. Tapi beliau diberi kesabaran lebih oleh Allah untuk me-manage hatinya itu. Karena beliau membawa tanggungan yang cukup berat demi menyebarkan agama kita.

"Allahumma shalli alaa syayyidinaa Muhammad"

Dari dulu aku sering dengar beberapa teman ngadu, "Aku itu nggak suka dibentak", "Aku nggak bisa dimarahin", "Aku benci kalau aku nanya, terus dijawab bete, gitu".
Padahal nggak perlu dikatakan secara lisan, semua orang juga sudah tahu. Dan semua orang pasti merasakan hal yang sama. Siapa coba, yang suka dibentak? Siapa yang suka dimarahin? Ada kah yang senang kalau kita nanya santai, dijawab sewot? Mereka berkata seperti itu untuk apa? Agar yang dengar nggak melakukan hal tersebut ke mereka. Iya, dan itu nggak salah juga, sih. Tapi kan jadinya nggak keren. Apalagi kalau mereka sampai berbuat seperti apa yang mereka omongin. Itu seribu kali lebih nggak keren lagi.

Oke, back to the main story.

Walaupun seberat apapun pekerjaannya si bapak itu tadi, yang mungkin membuatnya badmood sore itu juga, tapi apa sekosong itu kesadarannya untuk memahami perasaan si ibu tadi? Seenggaknya walaupun kesal, pelankan aja lah, suaranya. Sakit lho, dengar suara orang yang nyolot. Apalagi orang terdekat. Kalau orang lain, bisa langsung dibenci dan ilfil. Tapi kalau orang yang dicintai, apalagi suami sendiri, pasti langsung eror deh, ini kepala. Bukan kata benci yang terlintas dipikiran, tapi kecewa. Kenapa kecewa? Because it's the most painful. Yang telah memberi cinta setulus hati, malah diperlakukan seperti itu oleh yang diberi cinta itu. Hanya bisa diam dan tidak ingin menyakiti balik hatinya, dengan melawan. Karena apa? Karena tidak ingin kehilangan. Aku yang bertahun-tahun ngenes menjomblo aja bisa membayangkan bagaimana rasanya. Sakit banget, pastinya.

Di sisi lain. Dari luar aja sudah bisa dilihat, kalau si ibu tadi sudah berusaha membersihkan dirinya luar-dalam. Dengan menutup aurat, memakai jibab besar. Si suami malah dengan cueknya tidak berusaha memberishkan dirinya demi istrinya. Ini bukan masalah rambutnya yang gondrong, keriting berantakan, atau masalah kancing bajunya yang kebuka-buka bagian atasnya. Itu mah masih bisa dimaklumi. Beliau kerja dari pagi sampai sore begitu. Tapi ini masalah merokok.
Umumnya wanita tidak suka yang namanya perokok. Selain asapnya yang mengganggu dan bau perokok yang khas dan... hmm... begitulah, pastinya perokok juga membawa dampak buat orang-orang di sekitarnya (terutama pasangan dan anak-anak mereka). Dan dampak negatif dari perokok pasif itu tidak sekecil seperti orang yang ketularan sakit cacar, lho. Seperti Alm. temannya Titi Kamal yang waktu itu dia bahas di twitter, meninggal karena ayahnya yang perokok, sehingga ia yang perokok pasif, yang mau tidak mau harus menanggung akibatnya, mengidap penyakit tersebut.
Dan lagi, ibu mana yang ingin kondisi anaknya "kenapa-kenapa"? Tapi sebagian besar para istri pasti menghormati suaminya. Dan itu juga tidak salah.

Alangkah lebih baik kalau suaminya yang bisa lebih mengerti perasaan si istri.
Ya, Allah... mudahan nanti Imamku lebih baik lagi, Ya Allah... Kurang lebih seperti Bapakku, lah...
Amiiiiiin, Ya Allah (")(~_~)(")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar